#20 Siksaan Terberat

11 1 0
                                    

Tubuhku menegang saat mendengar suara tangisan. Kamar Ibu tampak serapi biasanya. Tidak ada yang berbeda. Aku masuk semakin dalam. Ibu duduk di sudut kamarnya, menangis. Sesekali Ibu mengulurkan tangannya, menggumamkan sesuatu. Lalu tangan Ibu kembali mengepal saat tidak terjadi apa pun.

"Julia!" teriak Ibu pada udara kosong yang mengelilinginya.

Secara spontan aku berlari mendekat, berniat memeluk Ibu. Tubuhku seperti gumpalan awan yang menembus tubuh Ibu.

"Seharusnya kau tidak pergi." kata Ibu, kembali terisak.

Napasku tersengal-sengal saat aku membuka mata. Cahaya temaram menyambutku. Hanya mimpi. Vermon sialan! Apa dia benar-benar berhasil mengirim pesan pada Ibu?

Suara pintu besi mengalihkan perhatianku dari mimpi itu. Seseorang masuk dan langsung menggendongku tanpa menghilangkan mantra belengguku terlebih dahulu. Aku memerhatikan wajah orang yang menggendongku itu. Dari fisiknya, aku tahu dia seorang penyihir Burdeoux. Seorang pria bertubuh kekar dengan janggut tebal yang menutupi dagunya. Dia membawaku ke sebuah ruangan lain. Bukan ruang siksaan, tapi sebuah ruangan yang cukup luas. Seperti ruangan penyekapanku, hanya saja lebih luas dan lebih terang. Pria itu mendudukkanku di sebuah kursi batu besar, menghadap ke arah ruangan yang kosong. Setelah aku duduk tegak, pria itu keluar dari ruangan, meninggalkanku.

Mataku bergerak cepat, memindai keadaan di ruangan ini. Apa lagi yang akan dilakukan Vermon padaku? Tidak ada yang mencurigakan dari ruangan ini. Hanya sebuah ruangan kosong yang dikelilingi dinding dan langit-langit batu, sama seperti ruangan lainnya. Ada sebuah tungku kecil di sudut ruangan. Aku bisa melihat kobaran api pada tungku itu, sedang memanaskan kuali yang berisi arang. Beberapa tongkat besi panjang tertancap pada tumpukan arang itu.

Aku melirik saat ada yang membuka pintu. Vermon masuk. Dan dia sendirian. Tidak biasanya dia sendirian. Ke mana Alex dan Virian?

Jubah panjang Vermon menyapu lantai saat dia berjalan ke arahku, duduk di kursi batu di sampingku. Pandangannya lurus ke depan. Entah apa yang dia, kami, tatap. Ruangan itu kosong. Dan aku masih belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Di situlah tempatmu seharusnya, Julia. Duduk berdampingan denganku. Kita saudara, ingat?" katanya pelan dan tegas. "Kita bisa melakukan apa pun dan memberi perintah apa pun."

Sampai mati pun tidak akan!

"Benarkah? Aku tidak ingin memaksamu. Kau harus memutuskan untuk bergabung denganku." Entah sudah berapa kali Vermon mengatakan hal yang sama. Dia tidak ingin memaksaku, tapi tidak satu pun dari tindakannya yang menunjukkan hal itu.

Bukankah aku sudah memilih untuk mati? Bunuh saja aku sekarang.

Vermon tertawa. Dia tampak sangat bahagia dengan keputusanku. "Sudah aku bilang, membunuhmu sekarang hanya sia-sia. Lagi pula, jika kau mati, itu akan terlalu mudah bagi Ibu. Iya, kan?"

Vermon memiringkan tubuhnya. Aku bisa melihat wajahnya sekarang.

"Kau mati dan Ibu sedih. Cerita akan berakhir. Kau sudah melihat reaksi Ibu, kan?" Vermon tersenyum bangga. Ternyata memang dia yang mengirimkan mimpi-mimpi buruk itu selama ini. "Aku ingin sesuatu yang lebih." Vermon menegakkan tubuhnya lagi. "Jika kau bergabung denganku, Ibu akan melihat bahwa penilaiannya tentangmu selama ini salah. Kita bisa melihat apa yang akan dilakukan Ibu jika tahu anak kesayangannya melakukan hal-hal yang selama ini dia benci. Mungkin, Ibu akan membunuhmu dengan tangannya sendiri. Dan itu lebih baik."

Ha! Itu artinya kau memang tidak mengirimkan pesan apa pun pada Ibu! Pikirku penuh kemenangan. Jika mimpiku tentang Ibu itu benar, Vermon tidak akan berandai-andai tentang reaksi Ibu saat aku jadi jahat.

VAZARD : Sang Master (Complete)Where stories live. Discover now