#25 Melarikan Diri

5 1 0
                                    

BAGIAN KE ENAM : JULIA


Aku tersadar dan mendapati diriku sudah kembali terbaring kaku di atas meja batu. Aku mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan pandanganku. Dedaunan hijau menyambutku. Pekerjaan yang belum selesai. Aku harus menyelesaikannya sekarang juga dan membuktikan teoriku.

Piantirum prosipernum utilias. Aku menyanyikan mantra itu dengan pikiranku, menatap tiap-tiap daun melebar dan sulur-sulur tanaman merambat semakin panjang. Aku menyanyikannya lagi, kali ini sulur-sulur itu menebal dan akar-akarnya mulai menancap semakin kuat ke langit-langit batu.

Nyanyian kelima dan aku bisa mendengar suara retakan. Aku memejamkan mata saat langit-langit di atasku akan runtuh. Pada nyanyian ke-20, seluruh tanaman merambat yang sekarang sulurnya jadi sebesar ular piton dan remah-remah batu menimpaku. Sekali lagi, aku bersyukur mereka menahanku dengan mantra yang membuatku mati rasa ini.

Aku berasumsi mantra yang melingkupi ruangan ini sudah lenyap karena aku baru saja merusak langit-langitnya. Ya, aku tidak terlalu yakin. Tapi berdasarkan halusinasi yang kualami sebelumnya, ruangan yang menahan kemampuan sihirku tidak menyengat saat aku menyentuh dindingnya. Itu memberiku ide bahwa sihir yang digunakan bukan jenis perisai. Bisa saja sihir itu menempel pada dindingnya. Mungkin jika aku merusak salah satu sisinya, sihir itu akan jadi tidak seimbang dan akhirnya rusak. Semoga saja apa yang kupikirkan itu benar.

Aku mulai memikirkan mantra untuk melepaskan belenggu. Aku ingin mantra yang mengikat tubuhku ini lenyap. Sebuah kata melintas di kepalaku. Averso fetterium. Aku merasakan ada sensasi hangat yang menjalar dari ujung kaki hingga ujung kepalaku. Saat sensasi itu tidak terasa lagi, aku mencoba menggerakkan jemariku yang tertimbun dedaunan. Jemariku bergerak perlahan. Lalu, aku mengangkat tangan untuk menyingkirkan sulur-sulur tanaman dan puing-puing dari atas tubuhku. Sekarang aku baru merasakan pegal luar biasa. Ternyata sulur-sulur itu cukup berat.

Setelah berhasil bebas dari tumpukan langit-langit itu, aku mengulurkan tangan. Vanisiam, dan kekacauan itu lenyap. Aku mendongak untuk mengamati langit-langit yang sekarang menganga lebar. Lubang itu mengarah ke tempat lain yang sama gelapnya. Aku naik ke atas meja batu, sedikit berjinjit untuk mengintip ruangan gelap macam apa yang ada di atasku.

Semilir angin menerpa wajahku saat kepalaku melongok ke atas. Aku menoleh demi mendapati cahaya temaram di ujung lorong. Rasanya benar-benar menyenangkan, seperti melihat cahaya matahari saat melewati lorong gelap sepanjang perjalanan. Aku berusaha mengangkat tubuhku ke atas. Setelah tiga kali percobaan, akhirnya aku bisa mengangkat bagian atas tubuhku. Dengan sekali dorong, akhirnya tubuhku sudah berada di atas sepenuhnya.

Aku berdiri diam cukup lama untuk memulihkan tenaga, menatap lubang menganga yang mengarah ke ruang penyekapanku. Fermus. Bebatuan yang membentuk pinggiran lubang itu perlahan mulai menutup, sampai akhirnya kembali rapat. Setelah lubang itu tertutup sempurna, aku langsung berlari menuju cahaya temaram di ujung lorong, tidak memedulikan ujung lorong lainnya yang tampak sangat gelap. Paru-paruku bersorak gembira saat akhirnya menghirup udara segar.

Suara geraman rendah menarik perhatianku. Aku berjalan perlahan ke arah suara geraman itu. Langkahku terhenti saat mendengar suara besi yang dipukul dengan sesuatu. Suara yang cukup keras, tapi sepertinya tidak ada yang menghiraukan keributan itu. Aku melanjutkan langkahku saat suara geraman itu terdengar lagi. Aku berhenti di hadapan sebuah pintu besi besar yang menempel pada tebing kastel. Lubang-lubang kecil pada pintu mengizinkanku melihat makhluk apa yang ada di dalam sana. Aku melangkah mundur saat makhluk itu berusaha mendobrak pintu besi dengan kepalanya, menciptakan suara dentaman besi yang cukup nyaring.

Vatra? panggilku saat melihat sekilas warna merah dari lubang-lubang kecil pada pintu.

Tidak ada jawaban, hanya suara geraman rendah yang kembali terdengar. Aku mendekati pintu besi itu, mencondongkan tubuh untuk mengintip melalui lubang-lubang kecil. Saat makhluk merah itu bergerak cepat ke arah pintu untuk menabrakkan dirinya lagi, aku mundur.

VAZARD : Sang Master (Complete)Where stories live. Discover now