#3 Peringatan

17 0 0
                                    

Sesekali aku menerawang Julia. Tidak ada perintah untuk tidak melakukan itu. Sejauh ini, hanya itu yang bisa kulakukan. Aku belum bisa menemukan cara untuk memperingatkan Julia agar menghentikan pencariannya.

Julia sedang membicarakan sesuatu dengan Aldrin, pemimpin penyihir Burdeoux yang baru. Apa yang dilakukan Aldrin di pegunungan Grandor? Julia melemparkan tiga buah batu permata di atas meja. Aldrin mengambil salah satunya dan mengamati batu itu dengan seksama. Setelah puas, Aldrin meletakkan batu itu lagi, kemudian bersedekap. Lelaki itu mengatakan sesuatu yang membuat Julia terperangah.

"Jangan terlalu sering membuang energimu untuk menerawang manusia itu."

Aku langsung mendongak. Virian sudah menyandarkan sebelah bahunya pada dinding kamarku. Aku melambaikan tangan di atas mangkuk air saat Virian mendekat. Bayangan Julia dalam air itu lenyap.

"Bagaimana kau bisa masuk?" Aku bangkit untuk mengambil tunik.

Virian menahan tanganku dan melemparkan tunik itu ke sudut kamar. Mata birunya menatapku dengan kilatan yang aneh.

"Kau lupa menutup pintu." katanya di dekat telingaku dengan suara setipis angin. "Atau kau sengaja tidak menutupnya?" Bibir merah darahnya membentuk senyuman yang sulit untuk diabaikan.

Tubuhku menegang saat Virian menyentuhku. Sihir dalam tubuhku berulah lagi, menciptakan sensasi menggelitik aneh setiap kali berada terlalu dekat dengan Virian. Entah sejak kapan sihir di dalam tubuhku bekerja seperti itu. Sangat mengganggu.

Aku mencengkeram tangan Virian dan melepaskannya dari tubuhku. Sensasi aneh itu belum hilang. Virian hanya diam saat aku mencengkeram pergelangan tangannya semakin kuat, merasakan nadinya yang berdenyut cepat dalam genggamanku. Saat yakin Virian tidak akan melakukan apa pun, aku melepaskan tangannya. Virian menjauhiku, kemudian duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja di tengah kamar. Kakinya yang jenjang disilangkan dengan sempurna, memamerkan tongkat cambuknya yang disimpan pada ikat pinggang.

Aku memakai tunik kemudian bersandar pada dinding di seberangnya. "Apa yang kau inginkan?"

Virian menarik tongkat cambuknya dan memainkannya di atas meja. Matanya masih belum terlepas dari wajahku. "Kesetiaan."

Aku hanya mengangkat sebelah alis. "Aku setia pada Master, bukan padamu." Aku bersedekap.

Virian tertawa mendengar ucapanku. Tawanya terdengar jernih dan lepas. Aku penasaran apa yang membuat Virian memilih setia pada Master.

"Aku hanya ingin memperingatkanmu sebelum Master memutuskan untuk menghukummu. Terlalu sering menerawang manusia itu..." Virian terdiam, menatap tongkat cambuknya kemudian kembali menatapku. "Aku hanya ingin mengingatkanmu pada siapa kau berpihak. Atau aku terpaksa mengingatkanmu dengan cara lain." Virian mengeratkan genggamannya pada rifel kebanggaannya.

Sensasi nyeri mendadak mengaliri punggungku. Aku masih ingat setiap cambukan yang diberikan Virian. Cambuknya tidak hanya menyayat tapi juga menyengat dengan energi yang mengerikan. Satu-satunya cara untuk mati.

Aku menegakkan tubuh, "Aku mengerti."

Virian bangkit dan menyelipkan tongkat cambuknya ke ikat pinggang. Raut wajahnya tampak lega karena tidak harus menggunakan cambuk itu sekarang. Virian melenggang mendekatiku. Saat berada di hadapanku, dia mencondongkan tubuh dan berbisik di telingaku.

"Jangan berpikir macam-macam. Aku akan tahu." Suaranya berupa bisikan yang membuat bulu tengkukku meremang.

Aku bergeming sampai Virian menjauh dan keluar dari kamarku.

VAZARD : Sang Master (Complete)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن