#18 Mantra Pelindung

5 1 0
                                    

Aku membuka mata saat mendengar derit pintu besi. Aku menatap langit-langit yang dipenuhi tanaman merambat dalam cahaya temaram. Lalu, wajah Alex muncul, menghalangi pemandangan langit-langit yang mulai membuatku bosan. Tubuhku kaku, jadi aku tidak bisa mengulurkan tangan untuk menyentuh Alex. Aku tidak bisa memastikan apa dia benar-benar ada di sini atau aku hanya membayangkannya.

"Aku membangunkanmu?" tanya Alex.

Aku hanya diam, mengerjapkan mata. Bibirku tidak bisa bergerak, kepalaku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa merespon pertanyaan Alex meskipun ingin.

"Aku akan menghilangkan belenggumu, tapi itu akan membuatmu kesakitan." katanya pelan, tampak menyesal.

Ini pasti hanya bayangan. Alex tampak seperti...Alex. Seseorang yang kukenal dulu. Dia berbeda dengan Alex yang sangat patuh pada Evan di ruang siksaan itu. Dia berbeda dengan Alex yang menyerangku di pegunungan Grandor. Dia adalah Alex yang kusukai.

Alex menggerakkan tangannya di atas tubuhku, lalu rasa sakit itu menyerangku. Rasanya setiap senti tubuhku menguarkan rasa sakit yang begitu luar biasa. Aku mengernyit, tapi tetap diam. Kerongkonganku terlalu kering untuk bersuara.

Saat melihatku mengernyit, Alex memejamkan matanya. Tangannya terulur ke arahku. Cahaya hitam memancar keluar dari telapak tangannya, menutupi seluruh tubuhku. Aku bisa melihat Alex tampak kesakitan saat melakukan itu. Apa yang sedang dia lakukan?

Setelah cahaya hitam itu lenyap, rasa sakit di tubuhku hilang sepenuhnya. Aku merasa begitu segar, meskipun aku bisa melihat luka-luka di tubuhku tidak hilang. Luka-luka sayatan itu masih tampak merah dan mengerikan dari balik tunikku yang robek-robek. Saat menyadari hal itu, mendadak aku merasa malu. Aku tidak pernah berpenampilan sekacau ini di hadapan laki-laki. Sepertinya Alex menyadari sikapku yang mendadak canggung karena harus berhadapan dengannya dengan pakaian yang robek-robek. Alex berjalan menjauh dan bersandar pada dinding batu di sampingku.

"Mantra itu akan melindungimu jika Virian," Alex berhenti, menelan ludah. "jika aku dan Virian harus melatihmu." katanya tegas. "Tapi kau harus berpura-pura kesakitan agar Master tidak curiga."

Aku tersenyum pahit, "Bukankah dia bisa membaca pikiranku? Dia akan tahu dan kau akan dapat masalah."

Alex menggeleng cepat, wajahnya tertunduk. Tidak biasanya Alex tampak begitu ketakutan. "Tidak masalah bagiku. Selama kau baik-baik saja." katanya tenang.

Jantungku berdegup kencang. Bahkan di saat seperti ini Alex masih bisa membuat jantungku bekerja sangat keras. Dia tega sekali.

"Kenapa kau datang ke sini, Julia?" tanya Alex, masih dengan wajah tertunduk.

"Untuk menyelamatkanmu, tentu saja. Aku sudah berjanji pada Ratu akan membawamu kembali ke istana."

"Kau tidak akan bisa pergi dari tempat ini."

Aku hanya diam, menatap Alex yang tampak menyesal dengan keadaan ini.

"Kau bisa membantuku kabur. Aku bisa mencuri batu Burdeoux milik Vermon jika berhasil keluar dari ruangan terkutuk ini." kataku.

"Aku tidak bisa. Perintah Master melarangku melakukan itu."

Aku hanya mengerutkan dahi. "Kau sudah kembali, Alex." Aku mengarahkan tanganku padanya, berusaha menunjukkan bahwa dia adalah Alex yang kukenal. "Bukankah itu artinya kau sudah tidak berada di bawah pengaruh sihirnya?"

"Kau tidak mengerti." tukas Alex cepat.

"Apa yang tidak kumengerti?"

"Master mengendalikan pikiranku, Julia. Aku akan menjalankan apa pun yang diperintahkannya padaku. Aku terikat padanya." Mata hitam Alex tampak frustrasi.

"Kau bisa melawannya Alex." Aku melompat turun dari meja batu tempatku duduk, mendekati Alex. Tiba-tiba saja aku lupa rasa maluku menghadapi Alex dengan pakaian robek-robek. "Kau ada di sini dan memberiku mantra pelindung. Kau bisa melawannya."

"Satu-satunya alasan aku tidak melukaimu saat ini adalah karena Master tidak memberiku perintah untuk itu." katanya pelan, penuh penekanan. "Jika Master memberiku perintah untuk membunuhmu, aku tidak akan bisa melawannya." Alex kembali tertunduk.

Aku hanya mengangguk pelan, kemudian kembali duduk di meja batu. "Alastair dan yang lain akan segera datang dan membebaskanku. Saat itu, kita akan pergi dari sini."

Alex masih menatapku, tampak begitu merana saat mendengar rencana hebatku. "Alastair tidak akan datang." kata Alex pelan. "Aku membunuhnya."

Mataku membelalak, terlalu lebar sampai rasanya sangat perih. "Tidak mungkin."

"Itu sangat mungkin. Sudah kubilang aku tidak akan bisa melawan perintah Master."

Aku masih diam, tidak berhasil menemukan emosi apa yang seharusnya aku tunjukkan. Marah? Tentu saja aku marah. Alastair adalah temanku! Dan temannya! Dan aku masih tidak bisa membayangkan Alastair tewas di tangan Alex. Alastair, tewas, dan Alex. Ketiga kata itu tidak seharusnya berada dalam satu kalimat. Bagaimana dengan yang lain? Apa yang sebenarnya terjadi di luar sana selama aku tertangkap? Apa ada yang selamat? Aku masih belum bisa menemukan suaraku yang bersembunyi di balik kerongkonganku yang kering. Tidak ada satu pun kata di dunia ini yang bisa mewakili keterkejutanku.

"Bagaimana..." Aku menelan ludah untuk menjernihkan suara. "bagaimana dengan yang lain?"

Alex menggeleng, "Hanya tersisa Elaine dan Aldrin."

Mataku melebar lagi, "Rolan? Lucia?" Bayangan Lucia berlumuran darah lebih tidak masuk akal bagiku. Aku merasa sangat bodoh karena meninggalkan mereka, orang-orang yang mau membantuku menyelamatkan Alex. Mereka semua tewas karena kebodohanku.

"Aku tidak melihatnya saat pemakaman." kata Alex tenang.

Tanpa sadar aku mengembuskan napas lega saat mendengarnya. "Apa yang terjadi pada Elaine dan Aldrin?"

Alex mendongak, tatapan matanya kali ini begitu tegas. Sepertinya dia sudah bosan dengan basa-basi ini. "Mereka ada di sel tahanan."

Jadi, sekarang hanya ada aku, Elaine dan Aldrin di sini. Bagaimana caranya kami bisa kabur jika masing-masing dari kami berada di ruangan yang berbeda. Mereka bisa berada di mana saja. Dan rasanya cukup sulit untuk kabur jika tubuhku mendadak kaku setiap kali dikurung di ruangan ini. Awalnya, aku berharap Alastair dan yang lain berhasil menguasai kastel dan membebaskanku. Sekarang, aku harus memikirkan sendiri cara untuk kabur.

Alex tertunduk sejenak, kemudian menatap meja batu tempatku duduk. "Aku harus mengembalikanmu seperti semula." katanya.

Aku mengangguk, kemudian kembali berbaring di atas meja batu. Alex menatapku sekilas sebelum mulai menggumamkan mantra untuk membelengguku. Tubuhku kembali kaku.

"Maafkan aku, Julia." katanya.

Dahiku mengerut. Untuk apa? pikirku, berharap Alex bisa mendengarnya.

Alih-alih mendapat jawaban dari Alex, aku justru mendengar suaranya di dalam pikiranku. Untuk semua hal yang mungkin akan kulakukan.

Lalu, Alex keluar, meninggalkanku dalam ruangan batu yang temaram. Sendirian.

VAZARD : Sang Master (Complete)Where stories live. Discover now