#37 Duka Mendalam

5 1 0
                                    

BAGIAN KE SEMBILAN : ALEX


Aku terbangun di sebuah ruangan yang berguncang. Kepalaku terasa jauh lebih ringan dari sebelumnya. Aku menatap langit-langit yang terbuat dari kayu berpelitur.

"Kau sudah sadar?"

Suara itu menarik perhatianku, memunculkan bayangan yang sangat familiar di memoriku. Julia.

Aku menolak untuk menoleh dan menatapnya. Terakhir kali aku melihatnya adalah saat...Tiba-tiba kepalaku berdenyut, mencoba mencari ingatan tentang kejadian itu. Bayangan saat Julia menarik tubuhku ke dalam pelukannya tampak begitu nyata di antara bayangan lain. Samar-samar aku mengingatnya. Aku ingat saat Virian melepaskan jeratan cambuknya dari leher Ratu. Mataku terasa perih. Aku memejamkan mata untuk menghilangkan rasa perih di mataku itu. Ternyata teoriku salah. Cairan yang melapisi mataku justru mengalir keluar. Aku sama sekali tidak berniat untuk membuka mataku saat ini.

"Maafkan aku, Alex." kata Julia pelan. "Maaf karena selalu...mengacau." Julia terbata dengan kalimatnya. "Maaf karena kau harus kehilangan Ratu." Kalimatnya baru saja merobek jantungku dengan begitu sadis, membuka luka yang belum sempat tertutup. Awalnya, kupikir itu hanya mimpi buruk. Saat aku membuka mata, keadaan akan membaik. Tapi, Julia baru saja memberitahuku bahwa hidupku adalah mimpi buruk. Semua yang terjadi padaku adalah mimpi buruk dan aku tidak akan pernah terbangun.

Aku masih tetap menutup mata saat merasakan sentuhan tangan Julia di bahuku. "Aku menempatkan tubuh Ratu di dalam balok es agar kita bisa memakamkannya di Zeltar."

"Maaf." kata Julia lagi saat melepaskan tangannya dari bahuku. Lalu, terdengar suara langkah kaki menjauh.

***

Aku memicingkan mata saat cahaya matahari menyambutku. Rasanya sudah sangat lama aku tidak melihat cahaya seterang ini. Tubuhku menabrak kusen pintu saat kapal bergoyang akibat ombak. Setelah berhasil menegakkan tubuh, aku langsung melangkah cepat menuju ruangan yang ada di seberang, tidak menghiraukan tatapan orang-orang yang ada di dek kapal. Aku melihat sosok Julia dan Elaine dengan sudut mataku. Tapi, aku terus berjalan melewati mereka.

Aku berhenti di ambang pintu, terkejut oleh keberadaan Virian di samping peti kayu besar yang berisi balok es. Dia sama terkejutnya denganku. Virian bergeming saat aku melangkah masuk, duduk di sampingnya.

"Mereka memintaku untuk mengawasinya sebagai hukuman." kata Virian, meskipun aku tidak bertanya.

Mataku tidak berpaling dari tubuh Ratu yang tersimpan di dalam balok es. Wajahnya tampak damai. Setelah sekian lama aku melihatnya selalu mengkhawatirkan kaumnya, baru kali ini aku melihat wajah Ratu yang tampak begitu tenang dan tanpa beban.

"Kau tahu perintahnya." kata Virian pelan.

Aku menoleh, menatap mata biru Virian yang tampak redup. "Perintah itu tidak memengaruhimu."

Bibir merah Virian membentuk garis tipis saat rahangnya mengeras. Dia selalu melakukannya saat emosi. Tapi, alih-alih membentakku habis-habisan, Virian hanya tersenyum pahit. "Kau benar. Aku bisa melawannya jika mau." Virian tertunduk, setelah menghela napas, dia kembali mendongak. Mata birunya menangkap mataku, menuntut perhatian. "Aku mengucapkan sumpah setiaku. Bukan pada Vermon, tapi pada diriku sendiri. Aku bersumpah akan selalu melakukan yang terbaik untuk Vermon karena dia sudah menyelamatkanku."

Aku hanya diam, masih setia menatap mata Virian yang mulai berkaca-kaca. Aku belum pernah melihatnya seperti ini. Penyesalan tergambar jelas di matanya, membuatku semakin tidak bisa berpaling.

"Vermon menyelamatkanku dari Globator yang menyerang Isigra." Virian tersenyum saat aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. "Vermon yang memerintahkan penyerangan itu?" tanya Virian, berhasil menebak pertanyaanku. "Aku tahu itu. Tapi tetap saja, dia menyelamatkanku. Kapak Globator itu sudah berada sedekat ini dari leherku." Virian mendekatkan ibu jari dan jari telunjuknya sampai jarak mereka sangat kecil. "Lalu Vermon membunuh Globator itu dan menyelamatkanku."

Virian mendongak, tapi air matanya tetap mengalir. Aku hanya diam saat melihat Virian menghapus air matanya dengan punggung tangan. Aku tidak pernah melihatnya menangis. Virian selalu menjadi perempuan tangguh, sekarang pertahanannya runtuh. Di hadapanku. "Vermon hanya mencari orang-orang yang dia pikir pantas dijadikan prajurit dan membunuh sisanya. Dia percaya aku bisa menjadi seorang prajurit yang tangguh." Virian tersenyum pahit, lalu mata birunya kembali menatapku. "Aku setia pada Vermon karena dia percaya padaku."

Aku berpaling dari Virian, kembali menatap tubuh Ratu. Aku menyentuh permukaan balok es itu. Sensasi dingin menjalar dari ujung jariku sampai ke pangkal lengan. Setiap sentuhan menciptakan retakan-retakan halus pada permukaan balok es, menjalar sampai ke dalam. Saat aku mengangkat jariku, retakan-retakan halus itu hilang.

"Maafkan aku, Alex. Aku hanya..."

"Hentikan." kataku.

Aku masih terus menyentuhkan ujung jariku pada balok es sampai Virian menghentikanku. Tangannya menggenggam pergelangan tanganku dengan sangat kuat. Terlalu kuat bahkan, sampai aku bisa merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhku.

"Jika ada satu hal yang kupelajari dari kehilangan orang-orang yang aku cintai," Virian mendapatkan perhatianku. Aku menoleh, menatap mata birunya lagi untuk kesekian kalinya. "berduka terlalu lama tidak akan menghidupkan mereka lagi. Dukamu hanya akan menyakiti dirimu sendiri dan orang-orang yang menyayangimu."

Aku tidak berkedip saat menatap Virian, berusaha mencari kebohongan di matanya. Selama aku mengenalnya, Virian tidak pernah mengatakan hal-hal baik seperti itu. Tapi kali ini, aku melihat sebuah ketulusan di mata Virian. Ketulusan yang begitu lama terhalang oleh kesetiaannya pada Vermon.

"Aku ingin sendiri." kataku sebagai tanggapan, lalu kembali menatap balok es di hadapanku.

Tanpa mengatakan apa pun, Virian bangkit. Dia berhenti di ambang pintu, menoleh ke arahku sekali lagi. "Panggil aku jika balok esnya mulai mencair." katanya sebelum melangkah keluar, meninggalkanku bersama balok es yang menyimpan tubuh Ratu.

VAZARD : Sang Master (Complete)Where stories live. Discover now