#42 Pulang

21 2 8
                                    

Aku mengemasi buku-buku pelajaran yang dulu kutinggalkan di kamar sebelum memulai perjalanan ke pegunungan Grandor. Aku kehilangan ransel, ponsel dan dompetku, juga rifel milik Ibu. Aku hanya menyisakan sebuah belati dan batu Burdeoux terakhir. Aidan memberiku sebuah tas kulit untuk membawa semua barang-barangku. Hari ini, aku akan pulang. Kembali ke rumah. Kembali ke kehidupan nyata. Kembali menjadi anak membosankan yang akan menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar, membaca buku-buku sains.

Rasanya aneh sekali, kembali memakai seragam sekolah. Aku sudah terbiasa dengan tunik, celana kulit dan belati. Memakai seragam sekolah dan membawa buku pelajaran menjadi terasa asing bagiku. Aku menatap pantulan diriku pada cermin air. Aku menelengkan kepala untuk melihat pantulan diriku dari sudut pandang yang berbeda. Aku langsung menegakkan tubuh saat ada yang mengetuk pintu.

"Masuk." kataku, pura-pura merapikan isi tasku. Aku sudah menyelipkan batu Burdeoux dan belatiku di antara buku-buku pelajaran.

Sosok Alex muncul dari balik daun pintu. Rasanya dia tidak pernah berhenti membuatku terpesona. Kali ini, Alex memakai jubah sederhana warna hitam dengan garis putih di lengannya. Dia terlihat gagah seperti biasanya. Dan itu menjadi alasan kuat kenapa aku enggan untuk pulang. Di duniaku tidak ada Alex. Seandainya saja dia bisa ikut bersamaku.

"Kau sudah siap?" tanya Alex.

Aku menoleh untuk mengamati seisi kamar, mencari hal-hal yang mungkin terlupakan. Aku mengangguk mantap saat yakin sudah tidak ada yang tertinggal.

Alex membuka pintu kamarku lebih lebar, lalu menyingkir untuk membiarkanku keluar lebih dulu. Aidan memelukku sangat erat saat aku akan pergi.

"Apa kau akan kembali lagi?" tanya Aidan saat melepaskan pelukannya.

"Aku harap begitu."

Aidan memelukku sekali lagi sebelum membiarkanku keluar. Semua orang yang aku kenal sudah menungguku di depan pintu. Latar belakang langit yang mulai berubah warna menjadi jingga membuat perpisahan ini terasa lebih menyedihkan dari yang kubayangkan. Satu per satu teman-temanku memberikan pelukan perpisahan, seolah kami tidak akan pernah bertemu lagi. Elaine memelukku lebih lama dari yang lain. Aku bisa merasakan embusan napasnya yang hangat di tengkukku.

"Terima kasih, Julia." bisiknya.

Ucapan terima kasih yang tidak pantas kudapatkan, membuatku ingin menangis. Elaine melepaskan pelukannya dan menatapku tajam. "Jangan lupakan aku." katanya. Senyuman terkembang di wajah cantik Elaine.

"Tidak akan." kataku mantap. "Aku sengaja membawa rifelku agar bisa selalu mengingatmu."

Senyum Elaine semakin lebar. Senang rasanya bisa melihat Elaine tersenyum lagi setelah kejadian itu.

"Sudah saatnya pergi, Julia." Alex mengingatkanku.

Aku mengembuskan napas, lalu melambai pada semua teman-temanku. Mungkin aku bisa menyebut mereka teman seperjuangan. Aku tidak akan pernah melupakan mereka.

***

Berdiri berhadapan dengan Alex di dekat portal mengingatkanku pada kejadian sebelumnya. Terakhir kali Alex mengantarku ke portal adalah sebelum dia hilang. Aku menatap mata hitam Alex sangat lama. Aku sedang merekamnya baik-baik di kepalaku. Aku tidak ingin melupakan satu bagian kecil pun dari wajah Alex. Aku ingin mengingatnya dengan sempurna.

"Kau tidak akan menghilang lagi kali ini?" tanyaku, berusaha melucu.

Alex hanya tersenyum sekilas, "Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu."

Aku menoleh untuk menatap selaput bercahaya yang menungguku, lalu kembali menatap Alex. "Bagaimana caranya memunculkan ini?" Aku menunjuk portal itu dengan ibu jari. "Kau berhutang penjelasan padaku."

Sampai detik ini, aku masih belum tahu caranya memunculkan portal. Jika aku sudah tahu caranya, aku bisa membuka portal itu setiap saat. Aku bisa datang ke sini kapan pun aku mau.

"Kau tidak perlu mempelajarinya." kata Alex tegas.

"Karena aku akan tahu?" tanyaku untuk memastikan. Alex selalu berkata seperti itu setiap kali aku penasaran pada sesuatu.

Alex menggeleng, "Karena kau tidak akan kembali ke Vazard."

Jantungku berhenti sejenak saat mendengarnya. Kerongkonganku mendadak kering dan tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.

"Ratu menunjukku sebagai pelindungmu, Julia. Dan aku gagal." kata Alex pelan. "Terima kasih untuk semua yang kau lakukan untuk kami. Aku rasa, satu-satunya cara untuk melindungimu adalah dengan tidak membiarkanmu kembali ke tempat ini."

"Tapi..."

"Tidak ada tapi. Itu demi kebaikanmu."

"Bagaimana aku bisa bertemu denganmu?" Pertanyaan itu terucap begitu saja. Aku terlalu putus asa, sampai tidak bisa menahan diri.

Alex menghela napas panjang, "Kita tidak perlu bertemu."

"Ha!" Aku mulai berteriak seperti orang gila. Lalu tertawa seperti orang gila. Aku rasa, aku memang sudah jadi gila sekarang. "Kenapa kita tidak perlu bertemu? Apa kau merasa terganggu karena aku menyukaimu? Apa itu alasan sebenarnya? Kau tidak ingin dekat-dekat denganku?" Aku benar-benar sudah sinting.

Rahang Alex mengeras, mata hitamnya mengunci mataku. "Aku rasa, hubungan semacam itu tidak akan berhasil, Julia."

Mulutku ternganga mendengar jawaban Alex. Aku mengangguk saat mendapat sebuah pengertian. Aku paham betul maksud Alex. "Tentu. Bodoh sekali aku ini. Tentu saja hubungan semacam itu tidak akan berhasil. Aku hanya manusia biasa."

Alex sudah membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu. Aku buru-buru memotongnya, "Tidak perlu kau katakan Alex. Aku mengerti."

Aku mengangguk lagi, kemudian menatap selaput portal yang mulai menipis. "Terima kasih atas perlindunganmu." kataku, lalu berbalik meninggalkan Alex.

Satu langkah menuju portal, aku berbalik. Aku kembali mendekati Alex dan memeluknya. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang teratur saat kepalaku menempel pada dada bidangnya. Berbeda jauh dengan detak jantungku yang berantakan saat Alex membalas pelukanku.

"Maafkan aku." katanya lembut, membuatku ingin menangis.

Keputusan ini tidak hanya baik untukku, tapi baik untuk Alex. Keberadaanku selalu menyebabkan kekacauan. Alex benar, lebih baik aku tidak kembali ke Vazard. Alex pantas mendapatkan kehidupannya kembali.

Aku langsung melepaskan pelukanku sebelum menangis. "Selamat tinggal, Alex." kataku pelan.

Alex mengangguk, "Selamat tinggal, Julia."

Dia masih mengawasiku sampai akhirnya aku melangkah melewati portal, meninggalkan mimpi indah yang selama ini menemaniku.

***

Perubahan keadaan membuatku sedikit linglung. Aku menghabiskan beberapa menit untuk menatap taman belakang rumahku. Setelah mendapatkan kesadaranku kembali, aku buru-buru masuk ke dalam. Keadaan rumah luar biasa hening. Aku kehilangan jejak waktu di sini. Sudah berapa lama aku pergi?

"Julia!"

Tubuhku menegang saat tiba-tiba Ibu menubrukku, memelukku sangat erat. Aku mengusap punggung Ibu saat mendengar isakan.

"Kau baik-baik saja." katanya di sela-sela isakannya.

"Aku baik-baik saja, Bu."

Ibu melepaskan pelukannya, menangkap wajahku dengan kedua tangannya. Ibu menatapku tajam, mencari kebohongan di wajahku. Aku rasa, Vermon benar-benar mengirimkan pesan itu pada Ibu. Saat tidak menemukan apa pun, Ibu tersenyum kemudian kembali memelukku.

"Syukurlah kau baik-baik saja." katanya lembut.

Aku mengeratkan pelukanku. Aku pulang.

VAZARD : Sang Master (Complete)Where stories live. Discover now