#39 Sebuah Tujuan

7 2 1
                                    

Sudah satu minggu aku mengurung diri, berusaha menyangkal kenyataan bahwa Ratu sudah tidak ada. Kaum Orsenvezk kehilangan seorang pemimpin dan aku adalah satu-satunya penerus Ratu. Jika bisa, aku ingin menyerahkan gelar itu pada orang lain yang lebih pantas.

Aku menatap pantulan diri pada cermin air. Aku benci melihat tidak ada perubahan dalam diriku, sementara ada begitu banyak hal yang telah terjadi. Ada begitu banyak hal yang hilang. Dan itu karena aku. Buku-buku jariku berdenyut saat aku memukul meja kayu. Aku bertumpu padanya sampai denyutan itu hilang.

Aku mendongak saat mendengar suara ketukan. Setelah ketukan ketiga, aku meminta orang itu masuk. Sosok Galiel terlihat di balik pintu, dia adalah salah satu tetua kerajaan. Kedatangannya ke kamarku sudah dapat dipastikan hanya untuk satu hal.

"Acara penobatan akan segera dimulai." katanya tegas.

Aku hanya mengangguk, lalu Galiel kembali menutup pintu. Aku kembali menatap pantulan diri di cermin air. Acara penobatan akan segera dimulai. Aku sama sekali tidak pantas untuk dinobatkan menjadi Raja baru kaum Orsenvezk. Seorang pemimpin seharusnya melindungi. Aku justru melakukan sebaliknya.

Aku mengambil pedangku, lalu keluar. Dengan langkah cepat, aku menyelinap keluar dari rumah pohonku, menuju istal kuda.

"Sepertinya, kau buru-buru."

Aku berhenti melangkah saat melihat Virian sedang mengusap moncong salah satu kuda berwarna putih-hitam. Dia tampak berbeda. Tubuh rampingnya dibalut tunik hijau dan rambut hitamnya digerai. Dia tampak lebih...menarik dibanding saat memakai seragam serba hitam yang selalu kami pakai. Bibir merahnya membentuk senyuman.

"Kau berencana kabur?" tanya Virian, mata birunya mengamati kuda yang sedang dibelainya. "Apa kau bisa mempertimbangkanku sebagai teman untuk kabur?" tanya Virian lagi, masih belum berpaling dari kuda putih itu. "Hukumanku jauh lebih berat, kau tahu."

Aku masih diam, memerhatikan Virian yang jauh berbeda dengan perempuan pembawa cambuk yang selama ini kukenal.

"Mereka menganggapku tidak ada. Dan itu jauh lebih kejam daripada dicambuk berkali-kali." katanya. "Atau menyentuh besi panas."

"Kau bisa pergi jika mau." kataku, masuk ke dalam istal untuk menemui Storm.

Kuda hitam itu sedang melahap segunung rumput di sudut istal. Storm meringkik pelan saat aku mengusap lehernya. Setelah yakin tanganku bukan ancaman, Storm melanjutkan kegiatannya.

"Aku harap begitu." Virian mengedikkan bahunya. "Tapi aku sama sekali tidak punya tujuan."

Aku mengeluarkan Storm dari istal, mengusap sisi perutnya. Ketika Storm sudah cukup tenang untuk ditunggangi, aku melompat ke atas punggungnya. Virian mendongak, menatapku. Dia tersenyum saat aku mengulurkan tangan. Dengan satu tarikan, Virian berhasil melompat ke punggung Storm, duduk di belakangku.

Aku memacu Storm secepat yang kubisa. Aku sendiri tidak tahu ke mana akan pergi. Aku hanya ingin menjauh dari keramaian untuk sejenak. Aku ingin menjauh dari kenyataan bahwa aku harus menggantikan posisi Ratu karena mengacau.

Aku menyentakkan tali kekang Storm, membuatnya berlari semakin cepat. Storm sudah begitu piawai dalam hal manuver. Alastair melatihnya dengan sangat baik. Kuda hitam itu berlari cepat, meliuk-liuk di antara pepohonan tanpa memelankan larinya sedikit pun. Aku masih terus memacu Storm, melewati hutan pinus, menuju bukit. Kami berhenti saat mencapai puncak bukit.

"Jadi, apa yang akan kau lakukan di sini?" tanya Virian saat aku melompat turun.

"Aku tidak tahu." jawabku datar.

Virian tertawa, terdengar nada hinaan dari tawanya. "Inilah dia, sang calon Raja yang kabur tanpa rencana." teriak Virian dengan suara lantang, seolah sedang mengumumkan sebuah berita besar pada banyak orang.

VAZARD : Sang Master (Complete)Where stories live. Discover now