#34 Labirin Mimpi

5 1 0
                                    

Aku terbangun di sebuah ruangan. Berbeda dari ruangan sebelumnya, ruangan ini mendapat cahaya berlebih. Aku memicingkan mata untuk menyesuaikan penglihatan. Setelah berhasil membuka mata lebar-lebar, aku mengamati sekeliling. Aku ada di sebuah ruangan batu yang sama dengan ruang penyekapanku. Tapi, langit-langit ruangan ini lenyap entah ke mana. Cahaya matahari berebut masuk ke ruangan ini.

"Kau sudah sadar." Aku langsung menoleh saat mendengar suara Alex.

Tanpa menunggu lama, aku langsung bangkit untuk menghampirinya. Alex menyandarkan tubuhnya pada tembok, menatapku lembut. Senyumnya semakin lebar saat aku berdiri di hadapannya. Dia tampak seperti Alex yang kulihat pertama kali. Tampan, gagah, dan indah.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku.

Alex hanya merentangkan kedua tangannya untuk menunjukkan keadaannya yang baik-baik saja. Aku baru menyadari penampilan Alex. Ada yang berbeda, sangat berbeda. Alex memakai tunik putih yang ditutupi jubah panjang warna putih gading. Jubah itu tampak sangat pas di tubuh Alex. Tepian jubahnya dihiasi motif garis-garis melengkung warna emas.

"Kau sudah siap?" tanya Alex dengan suara lembut.

"Siap?"

Alex hanya mengarahkan dagunya padaku, membuatku menunduk untuk melihat apa yang ditunjuk Alex. Dia menunjuk pakaianku. Aku memakai gaun putih bermotif emas, senada dengan jubah yang dikenakan Alex. Tiba-tiba saja, aku merasa gugup saat Alex mengulurkan tangannya. Setelah menghela napas panjang, aku menyambut uluran tangan Alex.

Kami berjalan beriringan, keluar dari ruangan yang ternyata berupa puing-puing. Apa yang terjadi? Aku menoleh untuk melihat puing-puing yang baru saja kami lewati.

"Kastel Vermon sudah hancur." kata Alex pelan.

Aku mendongak untuk menatap Alex, tapi pemuda itu menatap lurus ke depan. Aku hanya mengangguk. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa lega saat mengetahui kastel Vermon sudah hancur. Bukankah itu artinya Vermon sudah kalah?

Kami berhenti di hadapan sebuah meja batu kecil. Ada cawan emas berisi air di atas meja batu itu. Aku menoleh untuk menatap Alex, dia masih menatap lurus ke depan.

"Apa yang akan kita lakukan?" tanyaku gugup. Kami berpakaian rapi dan serba putih, seperti pengantin. Mungkinkah?

Alex berbalik, kemudian menggenggam kedua lenganku, membuatku berbalik dan menatapnya. "Kau akan mengucapkan sumpah setia." katanya lembut.

Dahiku berkerut, "Sumpah setia?"

Alex mengangguk, masih tersenyum.

"Sumpah setia apa?" tanyaku lagi.

"Sumpah setia padaku." Aku menoleh demi mendapati Vermon berdiri di balik meja batu.

Udara berebut masuk ke dalam paru-paruku, membuatku sesak dan terbatuk. Saat batukku mereda, aku membuka mata. Cahaya temaram obor di sampingku membuatku kecewa. Hanya mimpi.

Aku berusaha bangkit, bertumpu pada siku kananku yang masih terasa nyeri akibat duel dengan Vermon. Aku bersandar pada tembok batu yang terasa kasar dan dingin. Kain tunik yang tipis tidak bisa menghalau sensasi dingin itu merayap ke punggungku. Pandanganku jatuh pada rantai besi yang melilit pergelangan kakiku. Aku merasa seperti teroris yang ditahan di penjara bawah tanah.

Aku mendongak saat mendengar suara rintihan. Aku baru menyadari keberadaan seseorang yang tersungkur di hadapanku. Lucia. Aku langsung merangkak untuk mendekati Lucia, tapi rantai yang menahan kakiku tidak cukup panjang. Aku tertahan di tengah-tengah ruangan yang mengurung kami.

"Lucia?" bisikku.

Lucia masih tetap tersungkur dan merintih.

"Lucia? Kau baik-baik saja?" tanyaku lagi.

VAZARD : Sang Master (Complete)Where stories live. Discover now