#40 Penobatan Sang Raja

6 1 0
                                    

BAGIAN KE SEPULUH : ALEX


Alex muncul di detik-detik terakhir, saat orang-orang mulai panik karena calon Raja baru mereka tidak juga muncul. Aku rasa hampir semua orang yang menghadiri acara penobatan ini akhirnya mengembuskan napas lega saat melihat Alex muncul. Dia berjalan mantap menuju singgasana. Senyuman terkembang di wajahnya. Sepertinya, ada sesuatu yang berhasil membuat semangatnya kembali.

Alex duduk di singgasana, sementara Galiel berdiri di hadapannya. Setelah Alex mengucapkan sumpah setia pada kaum Orsenvezk, Galiel memasangkan sebuah mahkota yang terbuat dari sulur-sulur daun emas di kepala Alex. Lalu, Galiel mengambil pedang Alex dan meletakkannya bergantian di bahu kanan dan kiri. Setelah Galiel menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar, mungkin itu semacam doa, akhirnya upacara penobatan Alex sebagai seorang Raja selesai.

***

Aidan membantuku menata rambut, seperti biasa. Malam ini adalah "pesta" penobatan Raja baru. Aku sangat yakin, meskipun acara ini disebut pesta, tapi tidak semua orang akan bersenang-senang malam ini. Ada begitu banyak duka di balik kegembiraan ini. Mungkin, Alex termasuk salah satu orang yang tidak akan menikmati acara malam ini. Dan aku sudah memantapkan diri untuk menemaninya semalaman. Aku tidak akan beranjak dari sisinya sedetik pun. Aku akan terus menemaninya.

Aidan menggelung rambutku, kemudian menyematkan bunga-bunga Daisy di sela-sela gelung rambutku. Penampilanku cukup sederhana, hanya memakai gaun warna putih gading. Aku tidak ingin terlihat terlalu mencolok saat ini.

Aku datang ke acara malam ini bersama Lucia. Dia sudah menungguku di luar rumah pohon. Saat aku keluar, Lucia menyambutku dengan tatapan khawatir.

"Ada apa?"

Lucia tampak ragu sebelum akhirnya berkata, "Virian hilang."

Dahiku berkerut dalam, "Dia kabur?"

Lucia hanya mengedikkan bahunya, "Ada yang memberitahuku dia terlihat bersama Alex." Gadis itu terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Apa kita perlu khawatir?"

Jujur saja, aku tidak tahu. Aku membenci Virian karena dia pernah menjadi pelayan Vermon. Dan karena dia selalu menyiksa orang-orang dengan cambuknya. Aku tidak tahu apakah dia berbahaya tanpa Vermon di sampingnya. Tapi Darys bilang, Virian adalah seorang penyihir hebat. Dan itu membuatku sedikit khawatir.

"Alex?" Aku terdiam, memikirkan hal buruk apa lagi yang mungkin akan menimpa Alex jika dibiarkan berduaan bersama Virian. "Aku akan menanyakannya nanti."

"Kita pergi sekarang?" tanya Lucia.

Aku hanya mengangguk.

Kami bertemu dengan orang-orang yang akan menghadiri pesta penobatan Alex. Saat aku dan Lucia masuk ke dalam aula, ruangan itu sudah dipenuhi banyak orang. Kaum Orsenvezk dan kaum Burdeoux berkumpul di satu tempat. Aku mencari-cari sosok Elaine di antara orang-orang itu, tapi tidak berhasil menemukannya. Alex pun tidak terlihat di singgasananya.

"Aku akan mencari Alex dulu." kataku pada Lucia, yang ditanggapi dengan sebuah anggukan olehnya.

Aku mencari Alex di seluruh ruangan dan tidak berhasil menemukannya. Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke satu ruangan yang belum pernah kukunjungi sebelumnya di pohon Ratu. Aku berdiri di depan sebuah pintu kayu besar yang dihiasi ukiran tanaman merambat, sangat khas kaum Orsenvezk yang cinta alam. Aku mengangkat tanganku untuk mengetuk pintu, tapi urung. Bagaimana jika Alex sedang ingin sendiri? Setelah menghela napas beberapa kali, akhirnya aku memutuskan untuk mengetuk pintu. Setelah ketukan pertama, aku mendengar suara dari dalam.

"Masuklah." katanya.

Aku mendorong daun pintu kayu itu perlahan. Ruangan di balik pintu ini sangat luas, tapi cahayanya terlalu minim untuk ruangan seluas ini. Saat melihat sosok Alex, aku membuka pintunya lebar-lebar lalu masuk. Alex sedang duduk di pinggiran ranjang yang cukup besar. Dia masih memakai tunik putih polos. Jubah mewahnya tergeletak di atas ranjang.

"Orang-orang sudah menunggumu." kataku pelan.

Alex hanya mendongak sekilas, lalu kembali pada lamunannya. Sudah hampir satu minggu sejak pemakaman Ratu, tapi Alex masih sering terlihat melamun seperti itu.

"Kau memikirkan sesuatu?" tanyaku, mengambil tempat di sampingnya.

Alex hanya menggeleng, lalu mengambil jubahnya. Alex tampak gagah dalam balutan jubah hijau tua bermotif emas yang menutupi tubuhnya sampai lutut. Alex mengambil pedangnya yang tergeletak di meja kayu, kemudian menyarungkannya. Bahkan dalam keadaan seperti ini dia tidak pernah lepas dari pedangnya.

"Virian kabur." kataku. Mataku menatap guratan-guratan pada lantai kayu untuk menghindari tatapan Alex. "Ada yang memberitahuku kau bersamanya tadi pagi."

"Ya, dia bersamaku." jawab Alex tegas. "Dia pergi ke Firavar untuk membangun kembali kota Isigra."

Kali ini aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menatap Alex. Dia tampak sangat santai saat membicarakan Virian, seolah mereka adalah kawan lama yang sangat akrab. Alex sama sekali tidak khawatir dengan apa yang akan dilakukan Virian di Isigra? Virian bisa saja membangun kembali kota itu dan memperbudak lebih banyak kaum Globator untuk menjadi pasukannya.

Alex kembali duduk di sampingku. "Kau tidak perlu khawatir." katanya mantap.

"Bagaimana jika..."

Alex menggeleng, "Dia tidak akan melakukannya."

Aku masih menatap Alex bingung saat tiba-tiba pemuda itu berdiri, tangan kanannya terulur ke arahku. "Ayo. Ada sebuah pesta yang harus kita hadiri."

***

Seluruh suara gumaman yang memenuhi aula tiba-tiba berhenti saat Alex masuk. Alex mengangkat sebuah gelas kuningan, sementara semua orang yang hadir memusatkan perhatian padanya, menunggu apa yang akan dikatakan Raja baru mereka.

"Terima kasih untuk semua orang yang hadir di aulaku malam ini. Teman, saudara, keluargaku." Alex terdiam, mata hitamnya menatap satu per satu wajah yang ada di hadapannya. "Aku akan berusaha untuk menjadi seorang Raja yang bijaksana dan selalu mengutamakan kepentingan kaumku. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk meneruskan kebaikan-kebaikan yang telah di mulai oleh Ratu." Alex terdiam lagi. Aku bisa melihat rahangnya mengeras sebelum berkata, "Terima kasih."

Lalu sorakan mulai terdengar, memenuhi aula dengan kegembiraan.

***

Alex meyakinkanku dia tidak perlu penjaga. Dia sedang ingin sendiri. Kurasa, sekarang bukan saatnya untuk memaksakan keinginanku berdekatan dengan Alex. Lagi pula, ada orang lain yang belum kutemui malam ini.

Aku menemukan Elaine di depan pintu guanya. Dia duduk bersandar pada dinding gua, memandang langit malam yang tertutup jaring dedaunan.

"Aku tidak melihatmu di pesta." Kataku, duduk di samping Elaine.

Gadis itu hanya tersenyum sekilas, kemudian kembali memandang langit. Elaine tampak sangat cantik dengan balutan gaun putih polos. Rambut hitamnya dikepang sederhana dan disemati sulur tanaman.

"Apa Alex baik-baik saja?" tanya Elaine tiba-tiba.

Aku memerhatikan wajah Elaine, mencari tanda-tanda kesedihan di sana. Sepertinya, apa pun jawabanku tidak akan mengubah suasana hatinya saat ini.

"Butuh waktu lama, tapi akhirnya Alex muncul. Hanya sebentar, sebenarnya."

Kembali hening. Sesekali suara gerisik dedaunan menyela keheningan di antara kami. Tapi hanya itu. Tidak ada suara lain.

"Aku bertemu Alastair."

Aku langsung menoleh saat mendengar suara Elaine yang setipis angin semilir.

"Aku bertemu dengannya dalam mimpi." Elaine masih belum berpaling dari langit malam. "Dia menjawab pesanku."

Pesan apa? Aku urung bertanya saat Elaine menatapku. Apa pun pesannya, kurasa Elaine cukup puas dengan jawaban Alastair. Elaine tersenyum meskipun aku bisa melihat kesedihan di matanya.

"Aku..."

"Tidak perlu minta maaf, Julia. Bukan salahmu." kata Elaine, kembali menatap langit seolah bisa melihat Alastair di sana. "Akhirnya Alastair bisa berhenti khawatir. Dia sudah tenang di sana."

Aku mendongak, menatap langit malam yang tampakkelabu. Di antara jaring dedaunan itu, aku bisa melihatnya. Satu-satunyabintang yang terlihat di langit malam ini, mengedipkan cahayanya. 

VAZARD : Sang Master (Complete)Onde histórias criam vida. Descubra agora