#31 Akhir Pertempuran

5 1 0
                                    

Pandanganku kabur saat pertama kali membuka mata. Aku mengerjap beberapa kali, pandanganku masih tetap kabur. Aku berusaha bangkit. Jantungku berdetak semakin kencang saat aku tidak bisa merasakan tanganku bergerak. Tidak terasa sakit, nyeri, tidak merasakan apa pun. Aku berusaha mengangkat kepalaku untuk melihat apa yang terjadi pada tubuhku. Kepalaku hanya berhasil terangkat selama beberapa detik, lalu kembali tergeletak lemah di atas tanah. Aku menatap tebing batu yang menjulang tinggi di sisi kiriku. Aku masih di tempat yang sama. Tapi si penyihir tua tidak ada di sana.

Aku mencoba mengangkat kepalaku lagi. Hasilnya masih sama. Tapi kali ini aku bisa melihat tubuhku masih utuh. Kedua tangan dan kakiku masih melekat dengan sempurna pada tubuhku. Hanya saja, aku tidak bisa merasakan apa pun. Aku berusaha mengangkat tangan kananku. Aku tidak tahu apakah tanganku benar-benar terangkat atau tidak. Aku mencoba mengangkat kepala dan tanganku bersamaan. Aku bisa melihat tanganku bergerak sedikit, tapi tidak terangkat terlalu tinggi. Aku lemas dan mati rasa. Dan aku merasa tuli. Keheningan yang mengelilingiku membuatku merasa tidak aman. Aku berdeham untuk memastikan aku tidak benar-benar tuli. Aku hanya bisa merasakan sedikit getaran di tenggorokanku tanpa mendengar suara apa pun.

Keheningan yang memuakkan dan kabut pekat yang menyesakkan. Sejauh ini, hanya itu yang mengelilingiku. Aku mencoba untuk menoleh ke arah medan pertempuran. Mataku melebar saat melihat pertempuran yang masih berlangsung. Jumlah orang-orang yang bertempur sudah jauh berkurang. Dataran luas itu sudah dipenuhi tumpukan tubuh tak bernyawa. Kaum Burdeoux dan kaum Orsenvezk, tidak ada bedanya. Mataku bergerak cepat, mencari-cari sosok Julia dan Ratu. Aku menangkap sosok si penyihir tua yang tampaknya memiliki energi yang sangat besar sampai bisa menggunakan kekuatan sihir tanpa henti seperti itu. Tangannya terulur ke arah para penyihir Burdeoux yang sedang menyerang Julia. Tidak lama, tubuh para penyihir itu terlempar menjauh. Julia akan baik-baik saja. Mataku kembali mencari. Sensasi perih di balik mataku kembali terasa. Kali ini lebih menyakitkan dari sebelumnya. Pandanganku mulai kabur oleh selaput air. Aku mengerjap sekali, cairan yang menghalangi pandanganku meluncur, membasahi puncak hidung dan pipi kananku. Tapi, sensasi perih itu tidak mau hilang.

Bahkan, sensasi perih di balik mataku terasa semakin menyakitkan. Kali ini aku tidak mengerjap. Aku membiarkan mataku yang terhalang selaput air menatap lurus ke arah tubuh Ratu yang sudah terkapar di tanah, bersama para prajurit kaum Orsenvezk yang lain. Aku bisa melihat Virian baru saja melepaskan jeratan cambuknya dari leher Ratu, kemudian menusuk seorang penyihir Burdeoux. Kenapa Virian menusuk pasukannya sendiri? Aku mengerjap saat pandanganku terlalu kabur untuk melihat. Tidak peduli seberapa kerasnya aku mencoba, tubuhku tetap tidak bisa bergerak.

Untuk pertama kalinya, aku berteriak. Aku mencoba berteriak sekuat tenaga, sampai napasku habis jika bisa. Aku berteriak dan terus berteriak. Tidak ada yang mendengar teriakanku. Apa aku juga bisu? Aku hanya merasakan getaran di tenggorokanku tanpa benar-benar bisa mendengar suaranya. Tapi, aku tetap berteriak. Pandanganku semakin kabur. Tidak peduli berapa kali aku mengerjap, cairan hangat terus mengalir keluar dari mataku. Aku masih terus menatap tubuh Ratu, bibiku, yang sudah tidak lagi memiliki nyawa. Aku tetap menatapnya. Terus menatapnya sampai aku tidak bisa lagi mengenalinya karena pandanganku yang semakin buram. Aku harap si penyihir tua itu membuatku buta. Aku harap, penyihir tua itu membunuhku.

Tenggorokanku sakit. Aneh sekali aku bisa merasakan sakit di bagian itu, ketika dadaku merasa nyeri luar biasa. Rasanya sesak dan menyakitkan. Semuanya tampak melambat. Seolah dunia berhenti berputar hanya agar aku bisa melihat kematian bibiku dengan tempo yang sangat lambat. Sangat sangat lambat. Setiap detiknya terasa seperti seseorang baru saja menusuk jantungku dengan sebuah pedang yang luar biasa tajam, menariknya lagi, lalu menancapkannya lagi dengan tenaga yang lebih besar. Dan aku tidak mati. Orang itu menusuk jantungku berkali-kali, sampai tanah di bawahku berubah menjadi kolam darah. Dan aku tidak juga mati.

***

Rasa sakitku tiba-tiba saja hilang, digantikan oleh kebencian yang membuat dadaku nyaris meledak. Aku benci pada si penyihir tua yang membuatku lumpuh seperti ini. Aku juga sangat membencinya karena tidak melindungi Ratu. Dan aku benci pada diriku sendiri. Benci karena tidak sanggup melawan pengaruh Master terhadapku.

Sensasi perih di mataku kembali muncul. Aku menatap pertempuran di hadapanku dengan penuh kebencian. Satu per satu penyihir Burdeoux terlempar jauh, hingga hanya menyisakan Julia, Lucia, Virian, si penyihir tua, dan beberapa prajurit Orsenvezk yang masih mampu bergerak dengan tubuh penuh luka. Perhatian si penyihir tua itu tertuju sepenuhnya pada Virian sampai tidak menghiraukan para penyihir Burdeoux yang kembali bangkit dan berlari ke arah kastel. Julia dan yang lain berusaha mencegah para penyihir itu, tapi sepertinya mereka kehabisan banyak energi. Julia terjatuh karena kakinya tersandung tubuh salah satu prajurit yang tergeletak. Setelah itu, dia tidak lagi memiliki energi untuk bangkit. Prajurit lain tetap berusaha mengejar meskipun tertatih. Tapi akhirnya berhenti, saat para penyihir Burdeoux mengeluarkan kemampuan sihir mereka, membuat para prajurit itu terjerembab.

Si penyihir tua mendekati Virian yang tidak terlihat gentar sedikit pun. Tangan kanannya masih menggenggam cambuk kebanggaannya, sementara tangan kiri menggenggam belati milik Julia. Virian melecutkan cambuknya. Tali cambuk itu berusaha melilit leher si penyihir tua, tapi gagal. Tali cambuk itu justru terpental dan akhirnya melilit tubuh Virian. Si penyihir tua itu semakin mendekat, lalu tubuh Virian mulai gemetaran. Sepertinya Julia mengatakan sesuatu yang membuat si penyihir tua menghentikan niatnya untuk membunuh Virian.

Akhirnya, Julia berhasil bangkit. Dia berjalan gontai ke arah Virian. Hal pertama yang dilakukannya adalah merebut kembali belatinya dari tangan Virian. Lalu, Julia menempelkan bilah belati yang sangat tajam itu pada leher Virian. Aku bisa melihat Julia menelengkan kepalanya ke arah kastel. Tampaknya Julia tidak mendapatkan informasi yang dia inginkan. Dia memutuskan untuk membiarkan si penyihir tua mengurus Virian tanpa membunuhnya. Lalu, Julia berpaling pada Ratu.

Aku ingin berada di sana, menatap langsung wajah Ratu, wajah bibiku. Aku ingin melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Tapi aku tetap menjadi makhluk tidak berguna dan tergeletak lemah di sini. Lumpuh. Bisu. Tuli. Aku hanya menatap nanar Julia yang tampak begitu sedih saat meletakkan kepala Ratu di pangkuannya. Pandanganku kembali kabur saat melihat Julia mengusap wajah Ratu. Lalu, Julia menangis.

Julia mengecup kening Ratu, lalu kembali meletakkan kepalanya ke tanah. Matanya masih menatap wajah Ratu dengan begitu teliti, seolah dia bisa menghidupkan Ratu kembali hanya dengan menatapnya. Saat Julia mendongak, kami bersitatap. Matanya melebar saat melihatku. Dengan gerakan cepat Julia bangkit dan berlari ke arahku. Beberapa kali Julia hampir jatuh karena berusaha melompati mayat para prajurit.

Julia langsung menarik tubuhku ke dalam pelukannya.

VAZARD : Sang Master (Complete)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt