#13 Hutan Beladonna

11 1 0
                                    

Kau di mana?

Aku sudah berusaha mengontak benak Vatra sejak tadi, tapi belum ada jawaban dan tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Aku menoleh saat terdengar suara berisik di belakang. Alastair dan para prajurit yang lain sedang menumpuk sekoci yang kami gunakan untuk mendekati pesisir tadi.

Hari keempat, akhirnya kami berhasil menacapai pulau Magola. Pulau ini benar-benar seperti bayangan, tidak nyata. Seluruh pulau ini dilingkupi kabut pekat dan sejauh mata memandang hanya ada tebing-tebing batu.

Vatra? Kau di mana? Aku mencoba memanggil Vatra lagi. Tetap tidak ada jawaban darinya.

"Kita akan bermalam di sini!" Alastair memberi komando pada para prajurit yang sudah berbaris rapi di hadapannya.

Aku menoleh saat melihat ada sekoci-sekoci lain yang mendekati pesisir. Lucia langsung berlari ke arahku, memelukku dengan sangat erat sampai sesak napas. Aku langsung menghela napas panjang saat Lucia melepaskan pelukannya. Mata birunya tampak redup dan aku bisa melihat kantung matanya.

"Jangan minta aku untuk naik kapal lagi." katanya.

Aku hanya tertawa mendengar keluhannya. "Lalu bagaimana kita akan pulang?" Itu pun jika kami selamat.

Lucia mengembuskan napas kesal, dia melirikku. "Kau lupa? Penyihir Burdeoux bisa menempuh..."

"Perjalanan dengan cepat." Aku meneruskan kalimat Lucia. Aku tahu. Aku sudah melihat Aldrin melakukannya dengan portal-portal aneh.

Alastair dan Elaine mendekati kami, diikuti Rolan di belakang mereka. Para prajurit sedang sibuk menarik sekoci-sekoci, lalu menumpuknya di sepanjang pesisir agar tidak terbawa ombak.

"Kita akan bermalam." Alastair memberitahukan rencananya padaku.

Kami tidak membawa cukup peralatan untuk membuat tenda atau semacamnya. Jadi, bermalam berarti kami hanya beristirahat dan membuat api unggun dari ranting-ranting yang kebetulan hanyut. Tidak ada cukup pohon di sini. Hanya ada tebing batu dan lautan sejauh mata memandang.

Vatra? Kau mendengarku? Aku berusaha mengontak benak Vatra lagi. Hari sudah semakin larut dan Vatra belum membalas panggilanku. Aku urung melemparkan potongan terumbu karang saat merasakan kehadiran Vatra dalam benakku. Tiba-tiba saja aku merasa begitu bersemangat.

Maaf, aku sedang beristirahat. Aku terkekeh saat mendengar jawabannya. Kau sangat lamban. lanjutnya.

Maaf, kami harus berhadapan dengan Ataporus dan pusaran badai. Kau ada di mana?

Sebelum pertanyaanku terjawab, aku sudah bisa mendengar suara kepakan sayap diikuti embusan angin hangat. Lalu, sosok Vatra mendarat tepat di hadapanku, membuat beberapa prajurit yang sedang mengelilingi api unggun terkejut. Aku langsung bangkit dan mengusap leher Vatra. Aku merindukannya.

***

Aku duduk di samping Alastair dan Elain, mengelilingi api unggun. Tubuhku menegang saat ada yang menepuk bahuku. Itu Lucia. Gadis itu mengambil tempat di sampingku. Kami berempat duduk mengelilingi api unggun kecil yang dibuat dengan ranting seadanya. Untung saja apinya bisa menyala. Angin malam di pesisir pantai luar biasa dingin.

"Terima kasih." Lucia mengulurkan busur panah milik ibu.

Aku hanya mengangguk, kemudian meletakkan busur panah itu di sampingku. Lucia sudah mendapatkan pedang pengganti. Kurasa dia tidak membutuhkan busur panah lagi sebagai senjata.

"Jadi, salah satu prajuritmu sedang mengintai keadaan di sana?" Aku tidak menunjuk ke arah mana pun. Kurasa, mereka sudah mengerti arah mana yang kumaksud.

VAZARD : Sang Master (Complete)Where stories live. Discover now