#32 Manipulasi Pikiran

7 1 2
                                    

BAGIAN KE DELAPAN : JULIA


Alex menatapku dengan mata hitamnya. Aku bisa melihat jejak air mata di wajahnya. Aku memeluknya lagi.

"Maafkan aku." bisikku di dekat telinganya. "Maafkan aku." Aku bisa merasakan air mataku mulai mengalir. Aku gagal lagi. Rasanya aku tidak pernah bisa berhenti menyakiti Alex. Lebih parah setiap kali kejadiannya terulang.

"Maafkan aku." kataku lagi. Ribuan kali pun aku mengucapkannya, tidak akan pernah bisa membuat Alex memaafkanku.

Aku melepaskan pelukanku, membiarkannya bangkit dan menghukumku dengan tatapannya yang menyayat hati. Tapi, Alex tidak bergerak. Tubuhnya tetap terkulai lemas, tidak menunjukkan tanda-tanda dia akan bangkit dan memukuliku atau semacamnya. Aku hanya mengerutkan dahi saat Alex membuka mulutnya, tapi tidak terdengar suara apa pun. Dia hanya membuka mulutnya berkali-kali, seperti sedang mengatakan sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengarnya.

Aku mencondongkan tubuh agar bisa mendengar apa yang Alex katakan. Hasilnya tetap sama, dia tidak bersuara.

"Apa yang kau katakan?" tanyaku.

Alex hanya mengerutkan dahinya, tampak frustrasi dengan usahanya bicara. Aku menyandarkan tubuh Alex pada tebing batu terdekat sampai kami duduk berhadapan. Alex masih terus membuka mulutnya, mengatakan sesuatu yang tidak bisa kudengar. Aku menoleh saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Sudut mataku menangkap sosok Darys.

"Aku melumpuhkannya." katanya tenang.

Aku menoleh cepat, bangkit dan menghadapi Darys yang tampak tidak merasa bersalah sama sekali. "Melumpuhkannya?" tanyaku murka. "Apa yang kau pikirkan?"

Darys menatap Alex sekilas, lalu kembali padaku. "Ratu memberi perintah untuk tidak melukainya." Dagunya yang berjanggut mengarah pada Alex. "Jadi aku melumpuhkannya. Hanya sementara. Sampai kita mendapatkan batu Burdeoux terakhir dari Vermon. Lebih baik seperti ini. Sihir Vermon dalam dirinya tidak akan bisa bekerja."

Meskipun masih merasa murka, tapi aku diam saja. Aku benci mengakui Darys ada benarnya. Begini lebih baik. Alex tidak akan menggunakan sihir yang bisa menguras seluruh energinya. Aku melirik ke belakang sekilas, manatap Alex yang tampak lemah dengan tubuhnya yang lumpuh.

"Kenapa kau hilangkan suaranya juga?" tanyaku saat kembali menatap Darys.

"Dengan begitu, dia tidak mudah ditemukan. Aku juga membuatnya tuli agar dia bisa menenangkan pikirannya dalam keheningan."

"Tapi dia masih bisa melihat!" teriakku penuh amarah. "Dia melihat bibinya dibunuh!" Suaraku mulai gemetar. "Dia melihat ibunya dibunuh." kataku, kali ini dengan suara yang lebih pelan dan gemetar hebat. Aku tidak bisa berhenti mengingat kejadian malam itu. Saat Alex melihat ibunya dibunuh. "Dia melihat ayahnya dibunuh." Aku menambahkan, teringat pada kisah yang Alex ceritakan padaku.

Air mataku menyeruak lagi, membuat pandanganku kabur. Wajah Darys berubah menjadi rata sama sekali. Saat aku mengerjap, wajah tua itu kembali terlihat jelas. Aku buru-buru mengusap mataku dengan punggung tangan. Darys tetap tampak tenang. Tidak ada perubahan ekspresi apa pun di wajah tuanya. Dia benar-benar kejam. Pantas saja Darco membelot dari kekuasaannya. Pantas saja para Globator itu ingin membalas dendam. Darys memang benar-benar kejam. Leluhurku yang kejam. Mungkin, aku mewarisi kegagalan-kegagalanku darinya. Aku gagal melindungi Alex dan kaumnya.

"Sebaiknya kita segera masuk sebelum Vermon menyiapkan pasukan lain untuk menghalau kita." Darys menelengkan kepalanya ke belakang. "Kita kalah jumlah."

Aku mendongak, menatap lautan mayat para prajurit. Hanya tersisa lima orang penyihir, termasuk Lucia, Jared dan Darys, dan tiga orang prajurit, termasuk Khal. Mereka tampak terluka parah. Perhatianku tertuju pada Virian yang masih terlilit tali cambuknya sendiri. Lucia mengawasi perempuan itu. Rasanya ingin sekali aku membunuh perempuan cambuk itu sekarang juga. Tapi kami membutuhkannya. Aku benci kenyataan itu. Tapi kami memang membutuhkannya untuk membawa kami ke ruangan Vermon.

VAZARD : Sang Master (Complete)Where stories live. Discover now