#21 Sebuah Keputusan

8 1 0
                                    

Jika aku tidak bisa kabur dari tempat ini, aku harus mengambil sebuah keputusan. Aku masih tidak tahu apa yang harus kulakukan. Melihat Alex disiksa seperti itu benar-benar membuatku sakit. Jika Vermon memang menginginkanku, Alex tidak perlu disiksa seperti itu. Aku benci diriku sendiri. Kenapa aku harus memikirkan Alex dengan cara yang berbeda? Kenapa aku harus menyukainya? Sudah terlambat untuk menutupi perasaanku. Vermon sudah tahu dan dia sudah memanfaatkannya.

Pilihannya hanya ada dua: aku menolak dan kami berdua akan mati atau aku setuju dan ada kemungkinan kami berdua selamat. Tapi, waktu yang dimiliki Alex tidak lama. Tubuhnya tidak akan sanggup untuk menahan sihir Vermon. Cepat atau lambat tubuh Alex akan hancur. Astaga! Mengambil keputusan tidak pernah serumit ini. Aku butuh bantuan, tapi bahkan tubuhku sendiri tidak bisa membantuku.

Aku mendongak, menatap langit-langit batu yang sekarang tampak suram. Tanaman merambat yang dulu menutupi langit-langit itu mulai layu. Apa yang bisa kulakukan dengan tubuh kaku dan mulut terkunci? Aku sama saja seperti sebuah patung tidak berguna.

Jantungku berdegup kencang saat mendengar pintu besi dibuka. Ini dia, saatnya aku mengambil keputusan. Alih-alih seorang penyihir Burdeoux, ternyata Alex yang masuk. Mataku melebar saat melihatnya masuk. Dia tampak normal. Hanya saja, ada dua luka bakar yang menyembul dari balik kerah tuniknya.

Apa yang kau lakukan di sini? Vermon bisa menghukummu lagi.

Alex tidak menjawab pikiranku. Dia hanya mengayunkan tangannya di atas tubuhku untuk melepaskan belenggu yang menahanku. Otot-otot di tubuhku mengerang saat berusaha menggerakkan lengan dan kaki. Kerongkonganku masih kering.

Alex mengulurkan sebuah mangkuk kecil saat aku duduk. "Minumlah. Itu teh herbal."

Aku menenggak minuman itu dengan rakus. Rasanya seperti melihat oasis di padang pasir. Akhirnya kerongkonganku kembali mendapat air yang menyegarkan, tidak peduli dengan rasanya yang aneh. Alex mengulurkan tangannya untuk meminta mangkuk yang sudah kosong. Aku menyerahkannya.

"Apa yang akan dilakukan Vermon jika tahu kau melakukan ini?"

Alex hanya diam. Dia mundur, kemudian bersandar pada dinding. Matanya menatap mangkuk kosong di tangannya dengan perhatian yang berlebihan. Dia mengabaikanku.

Aku melompat turun dan mendekati Alex. Secara otomatis tanganku terulur untuk menyentuh luka bakar di lehernya. Alex menahan tanganku sebelum sempat menyentuhnya. Dia masih tidak menatapku sama sekali.

"Itu menyakitkan, iya kan?" tanyaku, pandanganku mulai kabur karena air mata. "Kenapa kau tidak menyembuhkannya dengan sihir? Kenapa kau melakukan ini, Alex?"

Alex melepaskan tanganku, mata hitamnya menatapku tajam. "Berjanjilah kau tidak akan menyetujui permintaan Master, Julia." katanya tegas. Itu sebuah perintah. Otakku lebih bisa menerima perintah Alex daripada Vermon.

"Kau kembali ke sini. Vermon akan menyiksamu lagi."

"Kau ditakdirkan untuk sebuah rencana yang lebih hebat. Ini tidak ada artinya." kata Alex.

Oh, aku sangat yakin orang yang sedang dibicarakan Alex itu bukan aku. Aku dan hebat bukan dua kata yang cocok. Aku menggeleng. "Tidak ada yang bisa kulakukan dalam keadaan seperti ini. Setidaknya, aku bisa menyelamatkan seseorang yang...."

Alex mencengkeram kedua bahuku. "Hentikan pikiran itu!" tukas Alex tegas. "Sudah menjadi tugasku untuk melindungimu."

Aku menatap Alex tajam. Dia terus saja mengatakan itu. Sudah tugasnya untuk melindungiku. Aku sendiri belum menjalankan tugasku sebagai Sang Penyelamat dengan baik.

"Sejauh ini, aku hanya mengacau." Aku tertunduk, menatap kakiku yang tanpa sepatu. "Aku membuatmu terkena sihir, aku membuat begitu banyak prajurit terbunuh, aku membuat Alastair dan Rolan terbunuh." Tangisanku semakin keras. "Aku ini kutukan, Alex, bukan penyelamat. Seharusnya kau tidak pernah membawaku ke sini. Mungkin kehidupanmu akan baik-baik saja jika aku tidak datang."

VAZARD : Sang Master (Complete)Where stories live. Discover now