#28 Pertempuran Terakhir

7 1 0
                                    

Aku terbangun. Tidak ada yang barubah. Aku mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan pandangan. Lalu, aku berusaha bangkit. Tapi kepalaku berdenyut dan pandanganku berputar, jadi aku merebahkan tubuhku lagi. Puncak tenda yang mengerucut terlihat seperti puncak komedi putar. Saat putarannya berhenti, aku kembali mencoba bangkit.

Aku memejamkan mata saat pandanganku kembali berputar. Setelah beberapa saat, sensasi berdenyut itu lenyap. Aku melihat belati milik Alastair yang masih tergeletak di meja. Secara otomatis, jemariku menyentuh bilahnya yang dingin. Aku tidak bisa menahan godaan untuk mengambil belati itu dan menggenggamnya. Rasanya sudah lama sekali sejak aku menggenggam belatiku.

"Kau menginginkannya?" Aku langsung meletakkan belati itu dan menoleh saat mendengar suara.

Lucia masuk ke dalam tenda dengan membawa sepiring roti dan buah-buahan. Dia memberikan piring itu padaku.

"Eh, belatiku entah ada di mana. Aku rasa Virian mengambilnya saat menangkapku. Dan juga busur panah milik Ibu."

Aku mengambil sepotong roti, memakannya dengan lahap. Aku tidak ingat kapan terakhir kali mengisi perutku dengan karbohidrat.

"Kau boleh memakainya. Aku yakin Alastair tidak akan keberatan." kata Lucia ringan. Tapi raut wajahnya berubah segera setelah kata terakhir keluar dari mulutnya.

Tentu, Alastair tidak akan keberatan. Alastair tidak bisa keberatan. Karena dia sudah tidak memiliki nyawa untuk merasa keberatan. Dan aku yang menyebabkan itu terjadi. Alastair tidak bernyawa lagi. Mati.

"Maaf." kata Lucia tiba-tiba.

Aku hanya mengerutkan dahi. Aku tidak tahu kenapa dia minta maaf. Seharusnya aku yang minta maaf pada semua orang. Aku adalah contoh orang yang sangat gagal. Tapi, anehnya orang-orang begitu percaya padaku. Aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya bisa aku lakukan.

"Tidak perlu. Bukan salahmu." gumamku.

Meskipun tampak canggung, Lucia berusaha mengangkat ujung-ujung bibirnya lagi, membentuk sebuah senyuman. "Makanlah. Kau akan membutuhkan banyak tenaga hari ini."

Aku memakan sepotong roti lagi.

"Vermon sudah mengerahkan pasukannya."

Aku berhenti mengunyah roti. Mataku melebar dan jantungku rasanya lupa caranya berdetak.

"Seorang penyihir Burdeoux yang bertugas mengawasi keadaan memberitahuku tadi pagi. Seluruh pasukan Vermon sudah bersiap di balik tembok kastel. Mereka sudah siap."

Aku berusaha menelan potongan roti yang sudah terlanjur berada di dalam mulutku. Dengan susah payah, potongan roti itu bergerak memasuki kerongkonganku yang mendadak terasa kering.

"Apa..." Aku berdeham, "apa Alex bersama mereka?"

Lucia mengangguk.

Entah apa yang membuatku merasa luar biasa lega. Setidaknya, Alex tidak sedang berada di ruang penyiksaan itu. Setidaknya, Alex baik-baik saja.

Aku meletakkan piringku di atas meja, meraih belati milik Alastair dan menyelipkannya ke ikat pinggang. "Kalau begitu, kita harus segera bersiap-siap."

***

Aku mendapat senjata lain, sebuah pedang yang bilahnya tipis dan lebih kecil dibanding pedang-pedang lain yang digunakan para prajurit. Ini semacam pedang khusus perempuan. Mirip dengan pedang milik Lucia, hanya saja pedang milikku memiliki bilah yang lebih pipih. Aku menemukan pedang itu, tidak, aku melihat pedang itu tergeletak di antara tumpukan anak panah. Entah bagaimana pedang itu bisa berakhir di sana, sebut saja takdir.

VAZARD : Sang Master (Complete)Where stories live. Discover now