#38 Daun Gugur

5 1 0
                                    

Lautan tampak sangat biru meskipun cahaya senja menyorot permukaannya. Angin sore menerpa wajahku, meninggalkan jejak rasa lengket yang menyegarkan. Mataku mulai perih karena terpapar angin. Kami sudah hampir sampai. Aku sudah bisa melihat garis hitam yang membentuk tepian Zelandar.

"Aku memaafkanmu."

Aku langsung menoleh demi mendapati Elaine sudah berdiri di sampingku. Tubuhnya condong ke depan saat menyandarkan beban tubuhnya pada pagar kapal. Rambut panjangnya bergerak-gerak tidak beraturan, menutupi wajahnya. Aku berpaling. Melihat Elaine mengingatkanku pada Alastair.

"Semua orang berduka saat ini. Tidak hanya aku. Tidak hanya kau. Semua orang." Elaine mulai bicara. "Dan kau melakukannya bukan atas keinginanmu. Jadi, aku memaafkanmu."

Apa itu artinya aku juga harus memaafkan Virian? Kenyataan bahwa dia memiliki pilihan lain masih mengganggu pikiranku. Virian bisa saja membiarkan Ratu hidup. Tapi dia lebih memilih tetap setia pada Vermon.

"Kau dengar aku, Alex?"

Pertanyaan Elaine baru saja menarik kesadaranku kembali. "Maafkan aku." Hanya itu yang bisa kukatakan sampai saat ini.

"Aku sudah memaafkanmu." Elaine mengulanginya. "Mungkin aku harus memukulmu beberapa kali agar merasa puas. Tapi, aku memaafkanmu." kata Elaine, terdengar jauh lebih tenang.

Aku masih ingat tatapan matanya yang penuh kebencian saat menyebutku monster. Aku berusaha mengangkat sudut-sudut bibirku untuk membentuk senyuman. "Kau boleh memukulku sebanyak apa pun." kataku, menyanggupi permintaan Elaine. Dipukuli berkali-kali pun tidak akan sebanding dengan perbuatanku pada Alastair.

Aku menoleh saat mendengar Elaine mengembuskan napas. Dia merunduk, menatap lautan di bawah kapal. Saat mendongak, aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca.

"Sekarang aku benar-benar berharap kaum kita berumur pendek." katanya, diselingi senyum pahit. "Aku akan menghabiskan waktu yang sangat lama untuk mengenang Alastair." Elaine menangis.

Aku langsung meraih Elaine ke dalam pelukanku, menenangkannya. Setiap isakannya membuat dadaku sesak. Aku masih ingat setiap detik yang kuhabiskan untuk membunuh Alastair. Wajahnya terekam begitu jelas. Bayangan saat mata hijau Alastair mulai meredup dan hanya menyisakan pandangan kosong saat nyawanya melayang.

"Kita akan selalu mengenangnya." kataku pelan.

Elaine melepaskan diri dari pelukanku, menghapus air matanya. Gadis itu mendongak saat berusaha tersenyum.

"Kau dengar itu, Alastair?" teriak Elaine pada langit. "Kami tidak akan pernah melupakanmu! Sebaiknya kau terus mengawasi kami dari tempatmu sekarang!"

Elaine memejamkan matanya, kemudian menghela napas panjang. Aku tidak berpaling saat Elaine berbisik pada angin, "Aku mencintaimu, Alastair." Dan air matanya kembali mengalir.

***

Saat matahari mulai muncul di ufuk timur, akhirnya kapal kami merapat di pesisir pantai. Kami sampai. Jajaran pohon pinus menyambut kedatangan kami. Aku, bersama tiga prajurit lain, mengangkat balok es menuju rumah pohon Ratu. Aku hanya menunduk sepanjang perjalanan. Ada terlalu banyak orang yang menyambut kedatangan kami. Sayangnya, wajah mereka tidak menunjukkan keceriaan. Orang-orang yang mereka tunggu, tidak kembali.

Balok es yang berisi tubuh Ratu langsung menjadi pusat perhatian. Orang-orang berdatangan untuk menunjukkan rasa dukanya. Kaum Orsenvezk dan kaum penyihir Burdeoux yang tersisa berkumpul di dekat pohon Ratu untuk menghadiri upacara pemakaman. Tidak sedikit yang mulai menangis saat melihat Ratu mereka sudah tidak bernyawa.

Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk pemakaman Ratu. Saat malam tiba, semua orang sudah berkumpul di depan pohon Ratu. Masing-masing orang membawa sebuah bola cahaya yang berisi kunang-kunang. Melepas bola cahaya itu berarti merelakan kepergian orang terkasih, membiarkannya menyatu dengan bintang-bintang di angkasa.

Tubuh Ratu diletakkan di atas meja kayu berpelitur. Aku menatap wajah Ratu untuk terakhir kalinya. Wajah yang selalu menemaniku selama ini, kini tampak pucat. Aku masih tetap berdiri diam di samping meja terakhir Ratu saat ada yang menyentuh bahuku.

"Sudah saatnya." kata Julia pelan.

Aku menatap wajah pucat itu sekali lagi, merekamnya dengan sempurna di dalam memori otakku. Lalu, aku melangkah mundur perlahan. Seseorang menyerahkan sebuah obor padaku. Setelah menghela napas panjang, aku mengulurkan tangan dan api mulai melahap meja tempat tubuh Ratu terbaring. Kobaran api itu semakin besar dan perlahan mulai melahap tubuh Ratu.

Ratusan cahaya mulai melayang ke angkasa saat orang-orang yang datang melepaskan bola cahaya mereka. Ketika sudah cukup tinggi, bola cahaya itu pecah, melepaskan ribuan kunang-kunang yang menghiasi langit malam. Tepat saat kunang-kunang itu terbang bebas, dedaunan mulai gugur.

Aku menengadahkan tangan saat daun emas pertama gugur. Warna emasnya berubah menjadi cokelat tua saat mengenai tanganku. Kami sedang berduka. Kematian Ratu bukan hanya menjadi dukaku, tapi duka seluruh kaum Orsenvezk. Gugurnya seluruh dedaunan di wilayah ini menunjukkan duka yang begitu mendalam. Kami baru saja kehilangan seorang Ratu, seorang pemimpin, seorang bibi.

VAZARD : Sang Master (Complete)Where stories live. Discover now