Toxic [10]

10.2K 1K 30
                                    

Seharusnya, Rachel tahu sejak awal jika Mark tidak benar-benar mencintainya. Seharusnya ia tahu jika Mark hanya bermain-main, hanya asal berujar saat memintanya menjadi kekasih. Rachel pun tahu jika ia juga salah. Sangat salah telah mengiyakan permintaan Mark tanpa berpikir apapun. Hanya reflek, karena saat itu aura yang Mark pancarkan benar-benar menariknya dalam kubangan rasa kagum.

Waktu berjalan, dan semakin lama Rachel semakin sadar akan sikap Mark. Pemuda itu acuh, seperti tak menganggapnya sebagai kekasih. Hanya datang saat perlu, hanya datang saat dirinya membutuhkan Rachel. Dan Rachel tahu betul jika dirinya memang bodoh; tak pernah menolak apapun yang Mark lakukan terhadapnya.

Tentang perasaan... Rachel tak yakin jika Mark mencintai nya. Pun tak yakin jika ia juga mencintai Mark. Tak ada ungkapan cinta, tak ada yang namanya jalan berdua di malam minggu sebagai acara 'kencan'. Mereka hanya membiarkan hubungan mereka mengalir begitu saja. Sangat semu....

Rachel menghela napas. Ia menenggak bir kalengan dengan 0% alkohol di tangan. Matanya menatap jalanan yang basah karena air hujan. Sesekali melirik jam di ponselnya yang sedang memutar musik; ia mendengarkannya melalui earphone.

Sore ini ia memang tengah berteduh di salah satu mini market. Ia baru selesai mengadakan rapat dengan para anggota nya. Membahas tentang pergantian ketua dan anggota. Yang untungnya sudah benar-benar selesai hari ini. Seterusnya, ia hanya perlu ikut memantau.

Ia membeli bir, beberapa roti isi, sekaligus mengambil uang di atm.

Sedikit informasi jika setiap bulan, kedua orang tua Rachel selalu mengirim uang. Bentuk tanggung jawab untuk anak yang selalu mereka tinggal bekerja. Jadi mereka pikir, dengan mengirimi Rachel uang, akan sedikit mengurangi beban mereka.

Rachel juga tinggal sendirian. Mereka tak memiliki pembantu, karena itu Rachel yang meminta. Lebih baik uangnya untuk Rachel saja daripada membayar pembantu. Toh Rachel juga pandai mengurus pekerjaan rumah. Sudah terbiasa sejak ia masih berada di panti.

Angin dingin berhembus. Membuat Rachel segera mengeratkan jaket milik Yuta yang ia pakai. Pemuda itu secara suka rela memberikan jaketnya pada Rachel saat melihat gadis itu hanya mengenakan kemeja sekolah yang pendeknya sebatas lengan.

Setelah bir nya habis, ia meremat kaleng tersebut sebelum akhirnya melemparkan ke tong sampah yang berada satu meter di samping kirinya. Ia merogoh saku, mengambil masker lalu memakainya. Tak lupa mengenakan tudung jaket milik Yuta.

Hujan sedikit reda, hanya gerimis yang masih tersisa. Beberapa orang yang berteduh satu-persatu pergi. Hanya ada Rachel dengan tiga orang lain di sini.

Mata Rachel memicing saat melihat mobil hitam berhenti di depan mini market. Terasa familiar. Dan benar saja, saat pintu depan mobil tersebut terbuka. Ia bisa melihat sosok paling di kenalnya keluar dari sana.

Mark. Berjalan tergesa dari arah mobil menuju mini market. Tak mengenali Rachel yang tengah duduk di meja dekat yang tak jauh dari pintu.

Rachel berdesis saat melihat kaca mobil yang di tumpangi Mark tadi terbuka. Menampilkan gadis yang kini mulai ia benci keberadaannya; Lia. Melongokkan kepala keluar lalu kembali lagi ke dalam dan menaikkan kaca mobil.

Dengan gerakan cepat, Rachel menggendong tas nya di punggung. Ia memasukkan tangan kiri ke saku jaket, lalu berjalan masuk— mengikuti Mark. Pemuda itu berdiri di depan kasir, terlihat tengah berbicara dengan laki-laki penjaga kasir.

Rachel berjalan mendekat. Kini ia berdiri di belakang Mark, memperhatikan dengan seksama apa yang di beli pemuda itu.

"Mas, bener-bener udah nikah?"

"Astaga, masih nggak percaya? Perlu saya kasih kartu keluarga punya saya?"

Oh, apa ini?

Rachel membelalak saat melihat penjaga kasir itu menyodorkan plastik putih yang sedikit tembus pandang pada Mark. Terkejut dengan apa yang ia lihat. Kontrasepsi, Mark membeli benda tersebut. Persis seperti yang di ceritakan oleh Jeno.

Toxic [ Mark Lee ] (✔)Where stories live. Discover now