Toxic [41]

5K 554 40
                                    

Sorot mentari sore masih terlihat benderang meski langit telah membiaskan warna jingga di barat sana. Sinar oranye nya yang indah, menyoroti apapun yang dapat dijangkau nya di bumi. Begitu menyenangkan, di tambah dengan sepoi yang melipir malu-malu. Daun-daun di dahan pohon ikut bergoyang dengan gemulai sebab ayunan sepoi itu.

Meski hampir petang, tetapi nyatanya hiruk-pikuk di jalan besar masih terlihat. Kendaraan roda empat maupun dua masih berlalu-lalang. Suara deru mesin dan suara klakson bersahut-sahutan. Terdengar nyaring jika di dengar dari sisi jalan besarnya langsung.

Seperti yang tengah dilakukan oleh Rachel. Duduk di satu beton trotoar, dengan kepala bergerak menoleh ke kanan dan kiri mengikuti kendaraan-kendaraan di depannya. Tangannya sesekali membenarkan anak rambut yang terbawa angin. Huh, harusnya tadi ia memakai topi saja.

Rachel mengeluarkan kedua tangan yang semula ia masukkan ke saku jaket. Kemudian membawanya ke sisi tubuh, menopang beban tubuh dengan kedua tangan. Rambutnya tersibak sekali lagi sebab angin. Ia jadi menyesal lagi tak memilih jaket bertudung untuk menutup kepala.

Rachel kini tengah menyegarkan pikiran, omong-omong. Ia tak mau berlarut atas pertengkaran Jeno dengan Mark, juga atas fakta jika Yeji-lah yang membeberkan semuanya pada Jeno. Ia sedikit kesal dengannya.

Selain itu, Rachel juga hendak menenangkan suasana hatinya pasca insiden sexual harassment yang Mark lakukan. Ia tidak merasa trauma terhadap laki-laki kok, hanya takut saja jika berhadapan dengan orang itu. Hatinya juga masih kacau, tidak karuan rasanya. Ia sendiri tak bisa lagi menggambarkan bagaimana yang ia rasakan, tapi yang jelas ia sakit hati. Pikirannya juga dikuasai oleh apa yang Yeji khawatirkan, perihal kehamilan. Membuat ia menjadi overthinking dan akhirnya tak bisa tenang.

Sehingga dirinya memilih untuk berjalan-jalan, menyegarkan pikiran selepas ujian sekaligus menghilangkan hal-hal buruk dari pikirannya sembari membeli makanan ringan.

Dan lagipula, ia juga tengah sendirian di rumah. Ayah tadi berpamitan hendak pergi, entah kemana Rachel pun tak tahu sebab Ayah tak mengatakannya. Sedangkan Bunda, masih begitu sibuk mengurus pekerjaan. Namun tadi Bunda sempat mengiriminya pesan, berkata padanya untuk tidak melupakan makan malam.

Meski hanya pesan singkat, tapi Rachel sudah merasa senang akan hal itu.

Hembusan napas Rachel hela dengan pelan. Kepalanya menatap jajanan kaki lima di pangkuannya, ia mengambil satu potong martabak yang ia beli tadi. Sembari menggigit, matanya menyisir keadaan di sekitar. Masih ramai kok. Tak hanya ia yang duduk-duduk santai di beton trotoar ini, melainkan muda-mudi lain pun ada.

Mata bulatnya bergulir lagi, ia beralih menatap food truck yang berada beberapa meter dari tempatnya duduk. Oh ya, disini memang banyak sekali penjual makanan. Jadi tak heran jika hingga hampir petang begini masih ramai oleh orang-orang yang ingin jajan ataupun nongkrong. Sudah begitu, suasana nya juga rindang sebab banyak pohon trembesi lebar di sepanjang jalan.

Andai hubungannya dengan Mark baik-baik saja, sudah bisa dipastikan jika ia dan Mark itu akan bermain ke sini.

"Lah, apaan kok gue mikirin Mark." Gerutu Rachel, kepalanya ia pukul beberapa kali dengan pelan. Ia mendengus kesal, kemudian kembali menatap martabak manis di tangan.

Mulutnya terbuka, menggigit martabaknya besar-besar sebal merasa kesal. Pipinya bahkan sampai menggelembung, saking besarnya makanan yang berada di mulut. Gigi gerahamnya mengunyah dengan pelan, kemudian mengedarkan pandangan lagi.

Alisnya bertaut; heran, saat mendapati orang-orang melihat ke arahnya sembari tertawa kecil. Beberapa bahkan secara terang-terangan menunjuk ke arahnya. Hei, memangnya ia tengah melawak?

Toxic [ Mark Lee ] (✔)Where stories live. Discover now