Toxic [26]

5.9K 582 3
                                    


"Gue nggak paham." Gumaman dengan nada sendu itu terdengar lirih.

Angin berhembus menerbangkan beberapa daun kering, pun menerbangkan beberapa helai rambut panjangnya hingga menutupi mata. Matanya terpejam, tangannya mengepal kuat menggenggam seluruh keping harapan yang siap ia tanamkan dalam hatinya. Kepala itu dengan sengaja ia dongakkan, sehingga belakang kepalanya terkantuk tiang yang ada di belakangnya.

Itu Rachel. Yang malam ini duduk di halte sepi tak jauh dari rumah. Posisinya menyamping, membawa kakinya keatas untuk ia julurkan ke kursi panjang halte. Sedangkan punggungnya ia sandaran ke tiang di sisi kursi.

Setelah kepulangannya—dengan diantar oleh Mark tentu saja— ia segera berganti baju, lalu merenung di kamar dengan duduk di dekat jendela. Bunda juga Ayah lembur. Kedua orang tua angkatnya itu ternyata mengabari melalui pesan sejak siang hari. Ia baru membukanya setelah pulang dari apartemen Mark karena tak sempat membuka ponsel.

Rachel memilih membeli makanan di luar karena ia malas memasak. Dengan hanya memakai celana training panjang, kaus hitam polos, juga zipper hoodie ia pun bergegas menuju mini market terdekat untuk membeli beberapa makanan.

Saat kantung plastik penuh dengan makanan sudah di tangan, ia akhirnya memilih untuk berjalan-jalam sebentar untuk menikmati semilir angin malam yang berhembus. Hingga akhirnya ia berakhir duduk di halte itu. Sudah sepi karena jam pun sudah menunjukkan pukul 9 malam.

Rachel menghela napas, "gue juga bego banget. Harusnya gue lawan Mark, bukan malah nangis. Keliatan banget lemahnya." Gerutunya, mengingat saat ia menangis di pangkuan Mark siang tadi.

Benar. Ia seharusnya melawan Mark dengan meninju rahangnya, menendang perutnya, atau bahkan jika perlu menendang kemaluannya agar Mark mundur. Namun bahkan hal-hal yang berhubungan dengan perlawanan itu tak terlintas sama sekali di benaknya. Ia kebingungan, akan semua maksud ucapan dan perlakuan Mark.

Tangan kirinya bergerak menyentuh bibir, dalam hati mengumpat keras-keras saat otaknya malah kembali teringat oleh ciuman Mark.

"Mark gila."

Napasnya kembali ia hembuskan perlahan. Lalu tangannya meraih kantung plastik di dekat kaki, ia meraih satu bungkus roti tawar yang ia beli. Gigi depannya menggigit plastik pembungkus, menariknya hingga terbuka lalu menggigit rotinya besar-besar.

Rachel melamun sebentar, sampai akhirnya teringat jika ia memiliki masalah lain. Tangannya meraba leher, kemudian meringis merasakan nyeri saat tangannya menekan tempat dimana Mark menggigitnya tadi. Tidak terlalu nyeri sih, tapi memang sedikit terasa. Dan gigitan Mark itu meninggalkan bekas saat ia berkaca tadi.

Rachel lagi-lagi menghela napas, ia menggerakkan tangan untuk mengubak isi plastik demi mencari dua buah koyo yang sempat ia beli. Benda itu akan ia gunakan besok untuk menutupi bekas merah yang ditinggalkan Mark. Bisa bahaya jika ia membiarkannya begitu saja.

Napasnya terhembus lega begitu menemukan benda yang ia cari. Oke, besok ia tak boleh lupa memakai benda itu.

"Eh, maaf, saya ingin duduk di sana. Boleh turunkan kakinya?"

Rachel terkejut setengah mati mendengar suara itu. Ia cepat-cepat mendongak, mendapati seorang pemuda tengah menunjuk kakinya. Dengan kikuk ia langsung menurunkan kaki, membawa plastik miliknya ke atas pangkuan. Ia meringis canggung, "maaf."

Pemuda di depannya itu menganggukkan kepala, lalu mendudukkan diri di sampingnya. Rachel dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas kini.

"Moon Taeil?"

"Eh?" Pemuda itu menoleh, memperhatikannya sebentar lalu menunjuknya, "Rachel?"

***

"Oh iya, kamu jam segini kenapa keliaran di luar? Bukannya tidur,"

Rachel menolehkan kepala, menatap pada Taeil yang juga tengah menoleh padanya. "Iya, tadi sekalian cari angin. Aku males masak, yaudah jajan aja."

Oke, sebenarnya sedikit aneh berbicara dengan aku-kamu seperti ini. Selain karena tak terbiasa, tetapi juga karena mereka bukanlah orang yang menjalani hubungan dekat. Namun Rachel tak enak juga jika harus memakai bahasa seperti yang ia pakai biasanya, maksudnya memakai 'gue' pada Taeil. Karena ternyata Taeil itu sudah bekerja, umurnya pun jelas jauh lebih tua dari Rachel. Ya meski baru 22 tahun, sih.

Jadi, Rachel putuskan saja untuk memakai aku-kamu.

Setelah insiden sapa-menyapa tadi, keduanya mengobrol banyak. Soal pekerjaan Taeil sebagai kepala koki; padahal ia baru mendaftar beberapa hari yang lalu, beralih pada atasan Taeil yang katanya beristri 3, lalu beralih pada topik sekolahan dengan Rachel-lah penyumbang topik terbanyak.

Hampir satu jam mengobrol, Taeil akhirnya menawarkan diri untuk mengantar ia pulang. Rachel jelas menolak, awalnya. Selain tak enak pada Taeil, ia juga takut jika Bunda atau Ayah sudah pulang. Pasti akan ada sesi interogasi mendadak karena kepulangannya di antar oleh pria, malam-malam pula.

Namun Taeil juga tak mendengar tolakan nya. Sudah malam, kata Taeil. Jadi ya sudah, ia akhirnya setuju saja dengan penawaran Taeil.

Pagar rumah Rachel sudah terlihat, tetapi di dalamnya Rachel tak melihat mobil Ayah maupun Bunda. Kemungkinan mereka memang belum pulang. Dan benar saja, saat ia sampai di depan pagar, pagar rumahnya masih tergembok seperti saat ia tinggalkan.

"Taeil, makasih ya." Ujarnya, membuka gembok pagar rumah.

Taeil yang berdiri beberapa langkah di belakangnya mengangguk, "sama-sama. Kamu masuk sana, saya tunggu sampe kamu masuk ke dalem rumah."

Rachel tak dapat menahan senyuman saat mendengar itu. Ia mengangguk dengan semangat, lalu segera masuk dan kembali menutup pagar. Ia sekali lagi melempar senyuman pada Taeil, sebelum kembali menyerukan ucapan terimakasihnya pada pemuda itu.

Dalam hati, sebenarnya Rachel bertanya-tanya. Soal Taeil, mengapa orang itu sangat baik seperti ini? Keduanya baru mengenal, bahkan bisa dibilang hanya sebatas mengenal nama satu sama lain saja.

Namun Rachel tak mau ambil pusing. Ia yakin Taeil bukanlah orang jahat. Apalagi saat matanya mendapati Taeil masih di depan pagarnya saat ia hendak membuka pintu rumah. Hal itu jelas menunjukkan jika Taeil memanglah orang yang baik.

Setidaknya, semoga....

Toxic [ Mark Lee ] (✔)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora