Toxic [20]

7.5K 693 16
                                    

"Terus gimana sama lo, Mark? Apa dengan gue yang berhenti berhubungan sama Yuta, bakal bikin lo jadi milik gue juga dan berhenti berhubungan sama Lia?"

Mark bungkam.

Dan hal itu semakin membuat Rachel melebarkan senyuman mirisnya.

"Nggak 'kan?" tanya Rachel, masih dibalas hening oleh Mark.

Kini Rachel paham. Mark, mungkin hanya bingung. Bingung dalam memilih antara ia dan Lia. Bingung dalam memilih antara bertahan untuknya dan lepas dari Lia, atau bertahan untuk Lia dan lepas dari dirinya. Rachel paham, tapi Rachel tak mau tahu.

Mark yang telah lebih dulu mengikatnya dalam status pacaran ini. Demikian, sudah pasti Rachel sadar diri untuk tidak bermain-main dengan hati seseorang. Meski tak yakin dengan perasaannya terhadap Mark, entah cinta ataupun tidak, tetap dirinya telah terprogram untuk menjadi 'pacar' yang baik untuk Mark. Dengan selalu menuruti apa yang Mark mau, meminimalisir kontak dengan laki-laki lain meski selalu gagal.

Mark-lah yang lebih dulu meminta, tapi mengapa Mark malah seperti ini? Bertingkah sesuka hati, bertindak seolah tak ada yang bersemayam di hati miliknya. Mark terus saja melakukan itu, berdekatan dengan Lia, berduaan, berpelukan, bahkan hampir berciuman. Oh, atau mungkin malah sudah berciuman tapi tak diketahui oleh Rachel?

Sejujurnya, Rachel hanya butuh kejelasan, juga keputusan Mark untuk hubungan mereka ini akan seperti apa kedepannya. Rachel tak ambil pusing jikalau Mark melepasnya dan memilih bersama Lia. Rachel malah bisa berfokus diri pada ujian yang tinggal di depan mata. Meski jauh di lubuk hatinya ia merasa kecewa sekaligus sakit hati, tapi jika keputusan Mark sudah demikian maka ia tak dapat merubahnya lagi.

Namun, kembali lagi pada Mark. Yang dengan seenaknya selalu dan selalu saja menahan Rachel. Mengatakan bahwa Rachel hanya miliknya, mengatakan jika Rachel hanya boleh melakukan kontak dengannya.

Mark terus meminta Rachel untuk tinggal meski nyatanya Mark lah yang mencari tempat tinggal baru.

"Lo itu egois, Mark." Satu kalimat Rachel yang mampu membuat kepala Mark berputar seketika.

Egois.

Setelah dipikir ulang, sepertinya ia memang seperti itu. Egois, hanya mencari kesenangan dan kemenangan untuk diri sendiri tanpa memikirkan orang lain. Mark yang selalu mengekang Rachel karena ia tidak senang dengan tindakannya, tetapi ia juga bertindak apa saja tanpa peduli akan Rachel.

Mark setidaknya mulai menyadari betapa tamaknya ia, meminta Rachel menetap tetapi juga bertahan dengan Lia.

Tegukan saliva sarat akan kegugupan Mark lakukan, "Chel, bukan maksud gue buat mainin hati lo. Tapi gue cuma—"

Belum tuntas kalimat kedua nya, Rachel bahkan sudah menyela. Mengangkat telapaknya ke atas, menahan semua rangkaian huruf dan kata yang siap keluar dari mulut Mark. Matanya menatap Mark dengan nyalang.

"Cukup, Mark. Gue nggak mau denger lagi. Lupain semua omongan gue tadi, anggep gue nggak pernah ngomong kaya gitu ke lo. Gue udah muak."

Mark kembali bungkam. Hanya menatap Rachel, berusaha bersitatap dengan bolamata nya yang entah mengapa tengah berkilauan. Seperti tengah menahan aliran asin dari mata cantik itu.

Mark kembali bungkam, menatap Rachel yang melangkah menjauh meninggalkan Mark dengan semua kalimat sangkalan nya.

"Maaf, Rachel."

***

Yuta tak tahu pasti, penyebab dari menangis nya sang pujaan hati. Rachel tiba-tiba menangis saat menghampirinya di lapangan di samping sekolah, mengatakan padanya jika ia tak siap bercerita, saat ia tanyai tadi. Rachel mengatakan pada Yuta jika Rachel membutuhkan sandaran. Dan Yuta tentu menyetujui itu, seperti apa yang pernah ia janjikan pada gadis ini, Yuta selalu siap jika saja Rachel membutuhkan sandaran.

"Masih sesek nggak?" Ia bertanya pada Rachel di sebelahnya. Karena beberapa menit lalu, gadis ini mengeluh jika dadanya merasakan sesak. Kemungkinan karena ia menangis sampai tersedu-sedu tadi.

Mereka berdua kini duduk di bawah pohon mahoni dipinggir lapangan sembari memperhatikan pertandingan dari entah siapa melawan siapa yang tengah berlangsung, setelah sebelumnya duduk di dekat gawang. Berpindah demi mencari tempat yang sejuk 'sih sebenarnya.

Rachel menggeleng, hidungnya berkerut menyedot cairan bening di hidungnya. Menciptakan suara yang sebenarnya menjijikan, membuat Yuta di samping canggung seketika.

"Mau pulang, nggak?" Lagi-lagi Rachel hanya menggeleng. Ia kembali menyedot ingus, membuat Yuta membuang napasnya pasrah.

Setelah beberapa detik berlalu dengan suara dari hidung memerah Rachel (gadis itu terus melakukan hal seperti yang tertulis di atas berulang kali, bahkan tanpa malu mengingat Yuta berada di sampingnya). Yuta akhirnya jengah, telinga nya mulai risih karena terus mendengar suara itu.

Ia akhirnya membuka tas, mengobrak-abrik isi nya demi mencari keberadaan benda penting yang entah mengapa selalu ia bawa. Mungkin sudah insting, berjaga-jaga jika pujaan hati nya kedapatan dalam keadaan seperti ini. Lagipula, ia sendiri pun kadang memerlukan nya. Um, ya, urusan lelaki.

"Nih, telinga gue risih denger lo begitu mulu," Yuta menyodorkan tisu pada Rachel. Yang mana langsung di terima oleh gadis itu dengan senyuman lebar.

Yuta yang mulanya kesal pun dibuat gemas. Rachel masih bermata sembab, hidung bangir nya memerah parah, juga bibirnya yang ikut menebal karena habis menangis. Oh, Tuhan! Andai kata ia dan Rachel adalah sepasang kekasih, pasti akan sangat mendebarkan jika tiba-tiba ia memeluk Rachel lalu menghujani nya dengan ciuman gemas. Pasti akan sangat lucu. Dan lebih lucunya lagi, adalah fakta bahwa mereka bukanlah apa-apa selain teman belaka.

Miris, batin Yuta menangis keras.

"Lo beneran nggak pengen cerita?" Yuta bersuara, mencari jalan pintas agar hati nya tak semakin mendamba Rachel.

Rachel menghela napas. Gadis itu menyilangkan kakinya menjadi bersila, lalu menjawab. "Gue cuma nggak siap aja. Gimana ya, ini emang lumayan rumit sih buat gue sendiri. Mungkin lo bakal ikut pusing juga kalo gue bagi ke lo."

"Chel," Yuta menepuk bahu Rachel sehingga gadis itu kini memusatkan atensi pada Yuta sepenuhnya.

"Mendingan, lo buruan cerita deh masalah lo itu. Serius, daripada lo nangis begini, beler, jelek." Lanjutnya, mengundang tawa renyah dari Rachel.

"Lagian, ya kalo lo cerita kan pusingnya dibagi dua tuh. Lo ngerasain setengah pusing, dan gue ngerasain setengah pusing juga." Tukasnya, membuat tawa Rachel semakin mengeras.

"Apa banget sih perumpamaan lo," Ujar Rachel disela tawa nya.

"Chel, seriusan nih gue. Lo nggak usah khawatir gue bakal pusing atau apa, karena gue kan pernah janji kalo gue selalu siap buat lo jadiin sandaran. Maka dari itu gue lebih kokoh daripada lo,"

Tawa Rachel berangsur memudar. Ia akhirnya kembali menoleh pada Yuta, melempar senyum tulusnya pada temannya itu. Ia pikir, ini bukan saat yang tepat untuknya bercerita pada Yuta. Mereka pun tidaklah terlalu dekat, hanya berawal kenal karena bersama-sama dalam klub saja.

Ia akan bercerita pada Yeji terlebih dulu, nanti.

"Makasih atas perhatian lo, tapi gue belum siap. Kapan-kapan deh gue janji bakalan cerita semua masalah gue ke lo,"

"Bener, ya? Awas lo ya, kalo nipu bakalan gue jewer!"

"Hahaha, iya-iya. Asli deh, lo emang temen paling pengertian!"

Oh, benar Yuta! Kamu hanya teman Rachel, mengapa sampai sebegitu nya?

Toxic [ Mark Lee ] (✔)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin