Toxic [58]

4.3K 415 14
                                    

Obrolan dari dua pasang manusia di ruang tamu itu mengalir begitu lama. Memberi suasana yang biasanya sepi menjadi lebih hangat dan nyaman. Segala topik dibahas, segala hal-hal dibicarakan tanpa peduli akan waktu yang terus bergulir. Saking asyiknya, bahkan mereka tak sadar jika mentari sudah beranjak dari atas kepala menuju arah barat. Cahayanya berpendar dibalik awan-awan mendung yang berjejer di atas .

Yang pertama menyadari perihal waktu adalah Rachel. Perempuan yang esok hari akan mendapat pengumuman kelulusan itu berkali-kali melirik Yuta, berharap pemuda di sampingnya itu balik menatap supaya ia dapat memberitahu. Namun sepertinya Yuta tidak begitu memperhatikan. Sosoknya terus bercengkrama dengan kedua orang tua Rachel dengan sangat seru.

Sampai akhirnya ia menyerah dan memilih untuk menggapai lengan Yuta agar ia diberikan atensi. Betul saja, pemuda itu lantas menoleh padanya. "Kenapa, Chel?"

"Udah mendung," bisiknya. Yuta menegakkan tubuh, kemudian melirik Jongin dan Jennie yang kini juga memperhatikan mereka.

Yuta tersenyum kikuk, "Om, tante, hehe saya mau pamit pulang."

Jennie langsung mendesah kecewa, "Wah... sayang banget, padahal tante mau ajak kalian makan malem tadi."

Sementara Yuta hanya memberi tawa pelan dan ucapan maaf sebagai tanggapan. Ia lalu berpamitan, beralasan jika mendung sudah mulai nampak. Dirinya takut berakhir sakit jika sampai kehujanan. Dan ya, meksi Jennie dan Jongin sedikit tak rela mereka tetap mempersilahkan. Keduanya tahu jika besok adalah hari kelulusan mereka, jadi maklum saja jika Yuta takut kehujanan.

Selepas kedua roda sepeda motor milik Yuta berputar menjauh, keluarga kecil itu kembali masuk ke dalam rumah. Mereka memang mengantarkan Yuta sampai di depan rumah tadi.

Si kepala keluarga menatap anaknya yang tengah memberesi gelas di meja. Netra nya lalu melirik sang istri, perempuan itu memberi kode melalui dagu yang di gerakkan menunjuk sang anak. Jongin paham, ia lantas berdehem.

"Rachel, setelah naruh gelas balik kesini lagi, ya. Ayah sama Bunda mau ngomong sesuatu." Katanya. Sang anak menatap ia dan Jennie dengan bingung tetapi tetap mengangguk dan berlalu membawa nampan berisi gelas-gelas mereka.

Rachel sebetulnya tak berpikiran buruk tentang perintah Ayah yang ia dengar. Mungkin hendak mengobrol kan soal pengumuman kelulusan besok, soal perguruan tinggi, atau bisa jadi hendak membahas soal Yuta. Tidak, sampai saat sang Ayah membuka obrolan yang dimaksud. Hatinya bagai hancur berkeping-keping.

"Ayah sama Bunda mau cerai."

Satu kalimat, tetapi mampu membuat Rachel merasa seperti di hantam berkali-kali oleh batu besar di atas kepala. Kehangatan keluarga yang sedari dulu ia dambakan, kini sirna. Ia yang sempat berharap agar keluarga kecil ini dapat terus berjalan hingga entah kapan, harus pupus saat itu juga. Rachel tak mampu berkata-kata, tetapi kedua matanya lah yang bersuara. Air mata luruh seketika.

Jennie yang melihat itu lantas berpindah tempat duduk. Ia duduk di samping Rachel, merangkul anaknya itu kedalam pelukan. Kepala Rachel yang berada di dekapannya ia usap, "maaf, Rachel. Kami berdua tau ini pasti nyakitin hati kamu. Tapi kami bener-bener nggak bisa buat keputusan lain selain ini."

Rachel mulai terisak. Ia balas memeluk Jennie dengan erat. Isakannya perlahan-lahan mulai terdengar semakin keras, pilu sampai terasa menusuk ke ulu hati. Dan bagaikan paham dengan suasana hati Rachel, langit ikut meluruhkan air mata kepedihan. Hujan langsung mengguyur bumi, rintiknya berlomba-lomba menghantam permukaan bumi berkali-kali.

Jongin menghela napas, ia mengusap wajahnya kasar. Ia tak sanggup jika melihat putri kesayangannya itu menangis pilu begini. Memang salahnya dan Jennie, yang dengan gampang hendak memutuskan hubungan mereka. Tetapi, hal ini telah mereka rencanakan sejak lama. Bahkan sejak mereka belum mengenal Rachel, sejak Rachel belum hadir dan memberi warna di kehidupan mereka.

Toxic [ Mark Lee ] (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang