Toxic [48]

3.8K 413 52
                                    

"Masih lemes?"

Rachel menggeleng atas pertanyaan itu. Ia mendongak untuk menatap Yeji yang tengah mengusap wajah. Temannya itu sudah ada di sisinya ketika ia membuka mata. Yeji bilang, ia pingsan di kamar mandi. Lia-lah yang memberitahu temannya itu soal insiden pingsan nya. Tetapi saat ini Lia sudah kembali ke kelas.

"Kenapa sih? Nggak biasanya lo capek sampe pingsan, bahkan pas klub bola ngejar latihan lo masih sehat-sehat aja deh." Yeji duduk di sisi Rachel, ia menyentuh dahi sang teman yang lumayan hangat.

Rachel menggeleng pelan untuk melepaskan dahinya dari telapak tangan itu. "Belum sarapan, Bunda pagi-pagi tadi udah pergi ke rumah nenek soalnya. Ayah juga belum pulang, jadinya gue langsung cabut pas udah siap berangkat."

"Lain kali jangan lupa sarapan meski cuma sereal atau roti. Udah mau kelulusan, lo nggak boleh sakit."

Kini Rachel mengangguk. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Yeji sebab masih merasa lemas, pusing juga perlahan-lahan mulai terasa. Matanya terpejam, untuk menghalau cahaya lampu ruang UKS yang sedikit silau untuk matanya yang sayu.

Sementara Yeji, gadis itu menghela napas. Tangannya mengelus punggung Rachel dengan sayang. Otaknya berputar, memikirkan ucapan Lia beberapa menit lalu ketika memberitahukannya soal Rachel yang pingsan.

"Yeji, aku tau kamu pasti juga benci sama aku. Maaf. Aku mau ngasih tau kalo mungkin aja Rachel kecapekan karena hormon kehamilan. Ini cuma perkiraan aku aja, kamu boleh percaya boleh nggak percaya. Tapi, baiknya kamu periksa ke dokter."

Begitu terang Lia padanya. Membuatnya memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Sebab perubahan suasana hati Rachel akhir-akhir ini juga sangat ekstrim. Sebentar-sebentar bahagia, bercerita padanya soal Yuta dengan ceria. Lalu setelahnya tiba-tiba murung lagi.

Ia ingin sekali mengusulkan idenya pada Rachel. Mungkin mereka harus mengecek dengan menggunakan testpack saja dan tidak perlu pergi ke dokter. Tetapi ia ragu, ia takut Rachel menolak dan makin bertambah sedih atas usulannya.

Namun jika tidak begitu, mereka tak akan tahu bagaimana keadaan Rachel yang sebenarnya.

"Chel," Yeji sudah memantapkan niatnya. Ia harus tahu soal kebenaran dari ucapan Lia.

"Hm, kenapa?" Sahut Rachel tanpa mengubah posisinya. Masih setia meletakkan kepala di bahu Yeji sambil menutup mata.

Astaga, melihat Rachel seperti itu Yeji jadi tak tega. Tapi mau bagaimana lagi?

"Nanti pulang sekolah, kita beli testpack ya?"

Mendengar itu, mata Rachel terbuka lebar. Kepalanya ia angkat, ia jauhkan dari bahu sang teman. Ia menatap Yeji dengan skeptis. "Maksud lo?"

"Iya, testpack, Chel." Yeji menghela napas, berat rasanya jika harus menjabarkan maksud dari ucapannya tadi. Tetapi ia harus, mau tidak mau, ia harus mengatakan ini pada Rachel. "Kita harus tau gimana keadaan lo. Maksud gue, Mark nggak pake pengaman. Dan kemungkinan lo buat hamil itu gede, Chel. Gue cuma pengen tau kepastiannya, begitupun lo. Kita harus tau lo beneran hamil atau nggak."

"Terus kalo gue beneran hamil? Lo mau jauhin gue kan?" Tuding Rachel pada Yeji. Ia melanjutkan lagi, "kalo gitu nggak usah. Nggak perlu di tes pake kaya begituan, kalo mau ninggalin gue tinggalin aja dari sekarang." Tukasnya. Ia berdiri, beranjak pergi meninggalkan Yeji yang masih duduk mematung di pinggir panjang UKS.

"Salah lagi gue, anjir!" Yeji mengacak rambut. Ia ikut berdiri, mengejar Rachel yang semoga saja belum jauh dari ruang UKS berada.

Yeji melotot ketika melihat Rachel hendak masuk ke dalam kamar mandi. Ia mempercepat langkah, lalu berlari mengejar. "RACHEL TUNGGU!"

Toxic [ Mark Lee ] (✔)Where stories live. Discover now