46. Forced To Go Home

692 95 327
                                    

Hai, aku kembali lagi. Seperti biasa, aku yakin kalian pasti tau cara mengapresiai karya Wattpadku ini. Selebihnya, selamat membaca

———
Kita seperti pecahan kaca yang berserakan. Jika dipaksakan bersatu, hanya akan mencipta luka yang baru
—Atilla Solana

• • •

Rupanya, Atilla telah salah perihal Andrea. Derrel berlebihan. Sepupunya itu bukan marah karena mobil yang dipinjam terlalu lama. Jauh lebih baik, dan terlalu melegakan, Andrea mendesak mereka agar segera pulang adalah tak lain karena cewek tomboy itu ingin menyajikan Sinonggi sebagai kudapan makan malam.

Sebagai orang yang sudah lama tinggal di sana, hasrat untuk memperkenalkan makanan khas Kota Kendari kepada pendatang baru seperti Atilla dan Derrel—sangatlah besar. Kudapan pengganti nasi berbahan dasar sagu ini, cara membuatnya terlalu mudah bagi cewek pemalas seperti Andrea. Cukup mencampurkan adonan sagu dengan air mendidih, mengaduknya hingga bertekstur seperti jelly—kemudian disajikan dengan kuah yang penuh cita rasa.

"Itu... yang kuning-kuning itu apaan? Ikan?" Atilla bertanya dengan raut wajah yang kurang yakin. Bentuk dari Sinonggi ini sama sekali tak terlihat menggiurkan. Warnanya seperti abu-abu pudar, seperti lem kertas. Sangat kontras dengan kuah ikannya yang berwarna kuning cerah.

"Itu yang bikin kuah ikannya jadi kuning, karena dicampurin bubuk kunyit. Cobain, deh. Namanya ikan pallumara. Kalian nggak bakal bisa sering-sering makan ini kalo di Jakarta."

Derrel menghirup aroma ikan kuah pallumara di hadapannya, kemudian tersenyum lebar kala aroma rempah-rempah bercampur ikan segar yang dimasak bersamaan memasuki indera penciumannya.

"Ini yang masak lo juga, Re? Anjir, baunya enak banget. Unik gitu."

"Bukan gue yang masak ikan pallumaranya. Bi Ira. Gue cuma bantuin seduhin adonan sagunya pake air mendidih biar jadi. Awalnya dia heran, kok makan Sinonggi malem-malem gini?" Andrea mengambil sumpit, kemudian menggulungkan adonan Sinonggi untuk dirinya sendiri. "Ya, Bi Ira ngomong gitu karena dia asli sini. Orang Kendari udah terbiasa dengan tradisi mereka. Sinonggi cocoknya disantap pas siang, atau paling nggak sore. Tapi, bagi gue... malem juga oke, kok. Rasanya sama aja."

Entah karena memang tidak berselera dengan sajian ini, atau karena kebingungan dengan penjelasan Andrea, Atilla hanya manggut-manggut sok paham.

"Terus, itu sayur apa?" Ia kemudian menunjuk mangkuk besar berisi sayur kuah bening,  agar dirinya terlihat tertarik.

"Itu sayur daun kelor. Enak juga, lho. Masaknya juga nggak susah-susah amat. Tinggal rebus daun kelor sama jagung, tumisan bawang putih, campurin micin, gula, garam, terus daun salam. Kalo udah mendidih, udah deh. Tinggal disantap mantap."

Berbeda dengan Atilla yang menatap makanan itu dengan ekspresi tak yakin, Derrel justru tak sabar dan sangat antusias untuk mencoba sajian khas Kota Kendari itu.

"Cara makannya gimana, Re?"

"Ikutin cara gue. Enak dan nggaknya tergantung cara lo mix kuahnya," papar Andrea sebelum meraih selembar piring lagi.

Ia menyendok kuah sayur bening dan kuah ikan pallumara, lalu mencampurkannya bersama gumpalan sinonggi dalam satu piring. Menambahkan perasan jeruk nipis segar, kemudian menyodorkan piringnya ke Atilla.

CephalotusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang