5. Let's Break The Rules (1)

3.9K 369 30
                                    

Peraturan diciptakan untuk dilanggar, bukan?
—Atilla Solana

Atilla memasuki rumahnya dengan perasaan dongkol. Ia berusaha untuk memperbaiki persaannya. Setidaknya, sekarang ia mendapatkan headphone baru. Tidak terlau sial hari ini. Tapi mungkin saja mulai besok, hari-harinya akan terasa jauh lebih sial karena ia akan semakin dekat dengan cowok yang sangat mengganggunya.

Sebelum naik ke kamarnya yang berada di lantai dua, dia melipir dulu ke ruang tamu, merebahkan tubuhnya di sofa, sembari menonton acara televisi yang entah kenapa semakin kesini semakin ngawur dan membosankan.

Atilla akhirnya melayang ke alam mimpi, setelah sebelumnya beberapa kali menguap dan meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa benar-benar pegal setelah apa yang ia lalui hari ini.

Mata Atilla yang semula terprjam, perlahan terbuka, lalu mengerjap perlahan, dan berkali-kali. Retinanya mulai dapat beradaptasi dengan cahaya yang masuk, sehingga dapat menangkap dengan jelas objek yang semulanya blur, menjadi lebih jelas.

Dirinya mengedarkan pandangan. Kemanapun mata memandang, tetap saja yang dilihatnya kosong dan putih. Kedua alisnya saling bertautan.

Tempat apa ini?

Apa mungkin gue udah mati?

Sekali lagi, Atilla menatap ke sekililing, sehingga bola matanya menangkap dua objek yang masih samar-samar, dan amat kecil. Atilla melangkah ke arah dua objek yang dilihatnya. Ia mempercepat langkah. Semakin cepat kakinya melangkah, semakin jelas objek yang ditangkap kedua matanya. Atilla terdiam sejenak, ketika melihat dengan jelas objek yang tadi samar-samar dilihatnya. Lehernya tercekat. Mengeluarkan suara saja, rasanya sangat sulit. Sebulir keringat meluncur perlahan dari pelipisnya.

Atilla berlari sekencang mungkin, menghampiri dua orang yang dilihatnya. Dua orang yang menjadi alasan hidup Atilla menjadi tak terarah; Kakak perempuannya Aletta, dan Ayahnya, Adrian.

Atilla semakin mempercepat langkah kakinya, telinganya menangkap suara deringan yang memekakkan telinga. Semakin cepat ia berlari, semakin nyaring suara dering yang di dengarnya. Beberapa jengkal lagi, ia dapat menarik jemari Aletta. Gerakannya tersendat kala ia mendengar suara teriakan yang memanggil namanya. Atilla memalingkan pandangan, namun tak ada siapa-siapa disana.

Atilla kembali menoleh ka Aletta dan Ayahnya, dan bahu Atilla seketika melorot turun kala mendapati keduanya menghilang.

Atilla tersentak bangun.

Rupanya ia hanya mimpi. Ia menggeram kesal, didapatinya wajah ibunya yang merengut, ikutan kesal.

"Hape-nya bunyi tuh, angkat gih!" perintah Sang Ibu, kemudian menyelonong pergi.

Ternyata deringan itu adalah suara deringan ponselnya.

"Halo?" terdengar sapaan dari seorang pria bersuara bariton di seberang sana.

"Halo? Siapa nih?" sahut Atilla dengan suara serak. Dia masih sedikit syok karena mimpinya tadi.

"Ini beneran Atilla? Atilla Solana?" tanya si penelpon

"Iya, ini gue, Atilla. Ini siapa sih!?" balas Atilla mulai kesal.

"Rahasia."

"Hah!?" Atilla gagal paham.

"Saya nelpon kamu, karna saya mau bilang kalo kamu itu perempuan hebat. Kamu itu ibarat tumbuhan Cephalotus. Udah, ya. Itu doang. Selamat malam, Atilla. "

  Tut Tut Tut.. 

Atilla terdiam. Ia masih tak mengerti. Ia menebak-nebak siapakah gerangan yang menelpon dirinya malam-malam begini, dan mengatakan hal-hal yang aneh dan sulit dimengerti.

CephalotusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang