12. Problem

2.2K 220 58
                                    

"Jika bagimu aku hanyalah semu, lantas mengapa tak dibuat nyata olehmu?"
—Derrellio Rellio

• • •

"Lo kenapa bawa gue ke sini, sih? Kenapa nggak biarin gue tetap di sana?" protes Atilla dengan terbata-bata karena sesenggukan.

"Biarin lo di sana? Emang lo pikir gue nggak punya hati, apa?" Derrel kesal. Dia juga sama kagetnya dengan Atilla, bahkan Derrel sempat punya keinginan untuk menghentikan itu semua. Namun, menenangkan Atilla adalah hal pertama yang harus ia lakukan. Cephalotusnya terlalu rapuh, meski dirinya pun tak kalah rentan.

Atilla mengatur napas bersamaan dengan tangannya mengusap wajahnya. "Kenapa lo nggak biarin gue tetap di sana buat mendukung apa yang nyokap lo lakuin? Gue ngerti perasaan nyokap lo. Gue mandang ini semua dengan objektif. Karena itu gue setuju dengan tindakan nyokap lo. Nyokap gue emang pantes digituin, sejak dulu gue emang curiga,"

"Ssst. Lo nggak boleh mikir macem-macem soal nyokap lo. Justru karena lo mandang ini dengan objektif, lo nggak boleh mutusin seenaknya kalo nyokap lo salah, karna semuanya belum terbukti benar, kan? Bisa aja ini semua cuma salah paham."

Atilla mulai tenang saat otak serta batinnya menyatakan persetujuan atas argumen Derrel. Hening sempat tercipta sebelum ponsel Derrel tiba-tiba berdering.

Sammy Si Kancil Yang Bijak is calling...

Tanpa perlu menunggu, Derrel menggeser tombol hijau di layar ponselnya, hingga panggilan Sammy akhirnya tersambung dengannya.

"Parah, lo. Ini kita udah di depan pagar rumah lo. Kata Pak Jupri lagi nggak ada orang,"

Derrel mengumpat dalam hati. Dia sampai melupakan rencana belajar kelompok berama teman-temannya. "Bentar, gue sama Tilla lagi makan. Lo minta aja langsung kunci rumah sama Pak Jupri, bilang gue yang nyuruh. Tapi plis awasin si Arjun. Jangan sampai dia bawa kabur novel Harry Potter gue, soalnya dia dari dulu udah ngincer banget yang Goblet Of Fire. Eh, sama motor gue juga, minta tolong Pak Jupri masukin ke garasi, ya."

Jauh di sana, Sammy memutar bola matanya malas. "Iya, bawel." Setelah itu, telepon diputus Derrel secara sepihak.

Derrel menyelipkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Saat menoleh ke arah Atilla, rupanya cewek itu sudah lebih dulu memperhatikannya sejak tadi. Seolah tahu bahwa Atilla pasti akan bertanya, Derrel langsung mengambil inisiatif untuk menjelaskan.

"Sammy. Gue lupa kalo tadi pagi kita udah janji sama Jacklin, mau belajar bareng di rumah gue." Setelah mengatakannya, Derrel tak berani menatap Atilla. Dia tahu bahwa sangatlah tidak benar membicarakan topik lain ketika suasana sedang tidak baik seperti ini.

Atilla tersenyum miring. "Gue bakalan tetap ikut kalian belajar bareng, kok. Kalo itu yang lagi lo pikirin."

Derrel refleks mengalihkan pandangannya ke Atilla. "Lo... nggak apa-apa?"

"Ya, mau gimana lagi?" Atilla mengangkat bahu. "Mau berapa lama pun gue nangisin ini, itu nggak akan merubah apa-apa. Bukannya lo yang ajarin gue buat terus melihat ke depan? The past is still the past, right?" Secepat itu, Atilla berusaha bangkit dari semuanya. Membuat Derrel terpukau, lalu tersenyum lebar dalam hitungan detik.

"Kok lo secepat itu sih ngelupainnya?" Derrel tak bisa menahan dirinya untuk tidak mengeluarkan pertanyaan konyol itu.

"Nggak tau. Lo sendiri, kenapa biasa-biasa aja hadepin ini? Emang segampang itu ya, pura-pura baik-baik saja bagi lo?"

CephalotusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang