39. Run Away

791 118 13
                                    

Bahkan jika semesta menolak, dunia mengecam, tetap saja kamu adalah inginku.
—Derrellio Rellio

• • •

Rambut yang semula basah itu mulai mengering, bersamaan dengan air matanya yang juga sudah kering, meninggalkan bekas belang di pipi gadis itu. Atilla menarik napas dalam, berusaha mempertanyakan, benarkah Derrel memang tak akan bisa digapainya?

Rupanya, sejak awal ia tak pernah menyadari. Bahwa permainan ini hanya akan berakhir dengan dirinya atau Derrel dihadapkan pada dua pilihan: menggapai, atau terabai.

Terlepas dari itu semua, setidaknya Atilla sudah mencoba. Paling tidak, ia bisa menepis jauh kegengsiannya hanya untuk Derrel. Ia sudah berhasil melepaskan rasa yang selama ini ia kurung dan tahan untuk dirinya sendiri, meskipun dengan itu kekalahannya akan semakin jelas terlihat.

Cewek itu mengatur napasnya saat suara ketukan pintu memasuki indera pendengarannya.

"Til, kakak boleh masuk?" Rupanya dari Aletta.

Sekali lagi, cewek itu mengempiskan hidungnya yang memerah karena menangis. "Langsung masuk aja, nggak dikunci," jawabnya dengan suara serak.

Aletta mulai mendorong pintu perlahan, lalu melangkah ragu menghampiri adiknya yang terbaring di kasur.

"Tadi mama nelpon. Katanya mau ngomong serius. Tapi gue bilangnya lo udah tidur."

"Makasih," sahut Atilla setengah tak acuh.

"Mau cerita?" Aletta meraih rambut adiknya, kemudian membelainya dengan sisiran jari.

Bisa ia rasakan bahwa adiknya itu menghela napas panjang sebelum akhirnya bersuara.

"Kok bisa ya Kak. Orang-orang di luar sana happy banget. Sedangkan gue? Bahkan untuk urusan cinta, gue harus semenderita ini."

Aletta menatap adiknya dengan teduh, sama seperti dulu, ketika Atilla kecil mengeluh lelah mendengar orang tua mereka bertengkar.

"Percaya sama gue, Til." Aletta semakin halus menyisir rambut adiknya dengan jemari. "Tuhan pasti nyiapin sesuatu yang indaaaah banget, sebagai hadiah dari kesabaran lo dalam menghadapi semua ujian-Nya."

"Tapi kapan, Kak? G-gue capek," lirih Atilla.

Aletta tersenyum meyakinkan. "Someday. Trust me."

Lagi, adiknya itu menghela napas panjang. "Semuanya bakal baik-baik saja kalo seandainya mama nggak selingkuh sama Om Rendy."

"Sst. Lo nggak boleh ngomong gitu. Itu semua masih termasuk rencana Tuhan. Kamu kan tau, Mama sama Om Rendy nggak sepenuhnya bersalah? Mereka saling cinta, tapi harus berpisah karena perjodohan itu."

Atilla bangkit dari posisi berbaringnya, mulai duduk bersila di hadapan sang kakak. "Nggak sepenuhnya bersalah gimana sih, Kak? Mestinya dari awal mereka udah bisa nerima kalo mereka emang nggak jodoh! Mestinya mereka nggak usah berhubungan lagi sejak tante Meira dan Om Rendy dijodohin sama orang tua mereka. Mestinya mereka bisa nerima kenyataan kalau jodohnya Om Rendy itu Tante Meira! Bukan Mama! Apa lagi, sejak Mama nikah sama Papa, mestinya mereka nggak usah selingkuh lagi!"

Aletta mengerjap beberapa kali, lalu menarik napas dalam-dalam. "Gini, deh. Gue bukannya belain Mama, yah, tapi coba posisiin diri lo sebagai dia. Mungkin lo bakalan lakuin hal yang sama ketika kenyataannya lo dan Derrel nggak berjodoh, tapi masih saling mencintai. Gimana kalau di masa depan, lo nikah sama laki-laki lain, tapi dengan keadaan lo masih sayang sama Derrel? Nggak menutup kemungkinan lo sama Derrel bakal ngelakuin hal yang sama kayak Mama dan Om Rendy lakuin, kan?"

CephalotusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang