19. Jealousy

1.3K 169 69
                                    

Mana yang lebih menyakitkan? Rindu yang tak bertuan, atau cemburu yang tertahan?
—Derrellio Rellio

• • •

Atilla gelagapan di tempatnya. Baginya, sulit untuk terlihat biasa-biasa saja dalam situasi seperti ini. Semua orang menatapnya terdiam. Ia tahu bahwa mereka semua menantikan jawaban keluar dari mulutnya.

Ia menoleh ke belakang untuk melihat ekspresi keterkejutan dari teman-teman dekatnya. Berharap dari sana ia bisa temukan bantuan untuk menjawab. Bukannya itu membuat dirinya mulai berani membalas tatapan Duta, melihat wajah datar milik Derrel membuat Atilla semakin tak berdaya.

Faktanya, tak seorangpun dapat menolak pesona seorang Duta Muhammad. Atilla pun akui itu. Namun, ia kira dirinya masih perlu lebih lama lagi untuk mempertahankan gengsinya pada Duta, ia benar-benar tak menyangka bahwa serangan itu akan lebih cepat dari dugaannya.

Atilla meneguk salivanya, kemudian membalas tatapan Duta dengan ragu. "Lo ngomong apa barusan?"

Duta terkekeh. "Gue tau lo nggak tuli. Lo nggak salah denger. Lo adalah cewek beruntung yang mau gue jadiin pacar tanpa perlu lo ngemis-ngemis kayak yang lain."

"Ta, emang harus banget gue jawab di depan umum kayak gini?" Atilla sedikit mengikis jarak antara dirinya dan Duta saat hendak mengatakan itu.

"Kenapa? Gue bawa mereka semua ke sini biar lo makin yakin kalo penolakan nggak pernah cocok buat gue."

"Kasih gue waktu," desis Atilla, membuat kemurunan yang ada di sana mulai saling membisiki.

"Waktu? Wow." Duta mengangkat tangannya tinggi-tinggi, kemudian bertepuk tangan dengan angkuhnya. "Lo cewek pertama yang bakalan gantung gue kalo itu beneran terjadi. Sayangnya, gue nggak bisa terima itu. Gue cuma mau satu kata keluar dari mulut lo sekarang. Ya, atau tidak."

Semua orang yang menyaksikan semakin gelisah. Setelah suara bisik-bisik itu semakin riuh terdengar, beberapa siswa mulai meneriaki Atilla, lalu tak perlu waktu lama untuk yang lain ikut meneriaki.

"TE...RI...MA! TE...RI...MA! TERIMA! TERIMA!"

"Udah, terima aja! Rejeki nomplok itu!"

"Woy, monster! Nggak usah sok nggak mau lo! Terima aja udah, kita juga tau lo pake pelet, kan?!"

Sekiranya kalimat-kalimat itulah yang terdengar membahana di kantin. Setelah Duta mengangkat tangannya untuk mengisyaratkan semua orang agar lebih tenang, barulah kerumunan itu kembali diam menyimak.

Daneen masih di sana. Wajahnya merah padam. Kalau saja teman-temannya tidak mencekal tangannya sekarang, sudah jelas dia akan maju untuk melabrak Atilla, dan mengamuki semua kerumunan yang ada.

"Lo jangan gegabah, Nin. Kalo lo sampe buat marah tuh monster, dia nggak bakalan mau tanda tangan di surat permohonan maaf kita. Jangan malu-maluin diri lo. Inget. Pamor kita bakalan hancur sehancur-hancurnya kalo lo sampe mengacau di sini. Lo bakalan keliatan trashy banget," bisik Tania pada Daneen, yang langsung diamini oleh teman-temanny a yang lain.

"Iya, Nin. Kita bakalan bersihin wc sampe lulus kalo lo bikin tuh monster nggak mau maafin kita. Lo udah sering banget bikin malu diri lo sendiri cuman gara-gara Duta dekatin cewek. Mau sampe kapan lo begini? Udah, lo tinggal diam aja. Urusan kita ke sini cuma mau minta tanda tangan si monster itu. Nggak usah khawatir, kalopun tuh monster beneran jadian sama Duta, paling dia cuman jadi mainan barunya Duta. Udah, percaya sama gue, nyet. Everything's gonne be alright."

CephalotusWhere stories live. Discover now