47. Destruction

708 94 360
                                    

Hai. Pas baca nanti, jangan lupa berekspresi lewat komen yaa.

Ah, iya. Absen dulu sesuai asal kota kalian. Kalau udah, silahkan siapin tisu—dan selamat membaca.

———

Kita seperti serpihan kaca yang berserakan. Jika dipaksa bersatu, hanya akan menciptakan luka yang baru.
—Atilla Solana

• • •

Atilla masih betah dengan posisi meringkuk di kasur sambil memeluk lutut kala ia terbangun. Sebelumnya ia sempat memberontak agar dibukakan pintu, namun tak ada jawaban dari luar sana.

Andrea? Dia dipulangkan ke Padang. Hanya ada Atilla di dalam rumah itu, terkunci di dalam kamar dengan beberapa pengawal berpakaian serba hitam menjaga dari luar.

"Bukain...," lirih cewek itu saat energinya sudah hampir  habis untuk menggedor pintu. Beberapa menit setelah itu, suara kunci yang diputar terdengar, seperti datang untuk membawa angin segar bagi penderitaan Atilla.

Atilla mengambil posisi, bersiap untuk menendang siapa saja yang akan menyeret paksa tubuhnya lagi.

Pintu terbuka, dan bukan para pengawal yang berdiri di sana.

Di sana ada Aletta. Ia menatap adiknya dengan datar sekarang.

Atilla merasa menemukan seseorang yang akan menolongnya, untuk itulah ia langsung menubrukkan pelukan ke kakaknya.

"Kak, gue kangen!" serunya di tengah isakan.

Aletta mendorong pelan adiknya, berusaha melerai pelukan itu. "Lo udah nyusahin semua orang tau nggak?"

Mendengar itu, ego Atilla sedikit tersentil. Ia tak terima disalahkan, maka dari itu jiwa pemberontaknya kembali muncul setelah sekian lama. "Apa, sih? Lo yang bilang ke gue kalo gue cinta sama Derrel, gue harus perjuangin. Lo juga yang bilang kalo gue harus bisa melawan semesta untuk dapetin dia, lo juga bilang Tuhan nggak buta. Setelah ini pasti ada sesuatu yang indah buat gue. Di saat gue berusaha buat dapetin hal indah yang lo maksud itu, sekarang lo mau nyalahin gue?"

"Iya, tapi cara lo salah!" Suara Aletta naik satu oktaf.
"Lo salah dengan cara kabur kayak gini! Lo tuh dari dulu nggak pernah pikir panjang kalo mau ngelakuin sesuatu, lo nggak sadar kalo perbuatan lo ini bikin orang lain ikut jadi korban."

"Gue cuma kejar apa yang bisa bikin gue bahagia. Apa itu salah? Kenapa lo ngomong seolah-olah gue yang egois di sini? Kenapa jadi gue lagi yang salah?"

Aletta mendengus, ia merutuki dirinya yang tanpa sengaja telah menyulut api amarah Atilla. Tentu saja itu salah, bukan begitu cara membujuk manusia berkepala
batu seperti adiknya ini.

"Bagus kalo lo bisa sadar diri. Bagus kalo lo bisa mikir gue nganggep lo egois. Karna nyatanya lo emang gitu, Til. Lo tau? Gara-gara perbuatan lo ini, mama dilabrak tante Meira lagi. Dia dihina-hina, Til. Kamu tega?"

Atilla terbungkam, otaknya bekerja keras untuk mencerna dan mengaitkan kalimat Aletta dengan kenyataan yang ada. Sebelumnya, ia sempat akur dan berdamai dengan Aline selama berbulan-bulan. Ada sedikit rasa perih di dadanya mendengar ibunya dipermalukan lagi oleh Meira. Ia juga akhirnya berpikir, bahwa tidak akan mudah bagi dirinya bisa berbaikan lagi dengan ibunya. Ia tahu ia kelewatan, tapi setelah nama Derrel terbesit begitu saja di kepalanya lagi, ia memilih untuk menyangkali semua kenyataan itu.

CephalotusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang