4. Forgiveness

4.7K 445 76
                                    

Aku adalah ramai yang akan pecahkan sunyimu dengan cara yang menyenangkan
—Derrellio Rellio

Atilla masih tak bisa percaya atas apa yang terjadi padanya. Mengapa rangkaian kebetulan-kebetulan itu secepat itu menjadi sebuah takdir?

Pertama, mereka bertemu di bioskop, dan duduk bersebelahan.
Kedua, mereka juga duduk bersebelahan di pesawat.
Dan ketiga, mereka menjadi teman sekolah, sekaligus teman sebangku.

Bukankah itu sebuah takdir?

"Maafin gue, yah." bisik Derrel ke Atilla, di sela jam pelajaran.

Atilla hanya memilih diam. Tak ingin menanggapi cowok aneh ini. Bukannya seharusnya dia yang minta maaf?
Mengapa cowok ini tiba-tiba mengotot minta maaf?

"Lo nggak mau maafin gue?" ucap Derrel lagi, karena pertanyaan sebelumnya belum dijawab Atilla.

"Diam napa! Lo tuh ganggu gue banget tau nggak!"pekik Atilla menarik perhatian seisi kelas.

"Hei, kamu! kamu masih murid baru, tapi sudah berani-berani mengganggu pelajaran saya. Kamu mau saya hukum?" ancam Bu Christin, guru mata pelajaran Fisika yang sedang mengajar di kelas Atilla.

"Maaf, Bu." jawab Atilla dengan nada oghah-ogahan.

Lagi-lagi dia sial.

"Tidak bisa dimaafkan. Kamu saya hukum. Jawab soal yang Ibu tanyakan sekarang juga."

Atilla menelan ludah. Selama ini pelajaran, tepatnya fisika, selalu menjadi momok menyeramkan baginya.

"Sebutkan rumus persamaan gravitasi bumi!" perintah Bu Christin

Atilla menggaruk jidatnya yang tidak gatal barang sedikitpun. Ia benar benar tak tahu harus menjawab apa sekarang.

"F sama dengan G Mm per r pangkat dua." bisik Derrel ke Atilla.

"Apa? Gue nggak denger." balas atilla meminta pengulangan kunci jawaban.

Derrel pun merobek secarik kertas dan menuliskan jwabannya secepat kilat, dan menaruhnya di meja Atilla.

Atilla melirik sedikit ke arah kertas yang diberikan Derrel.

"F sama dengan G Mm per r pangkat dua, bu." jawab Atilla denngan nada sedikit takut, jangan-jangan Derrel mencoba untuk mengerjainya.

"Oke. Kali ini kamu saya maafkan. Jangan diulangi.

Atilla mengangguk, kemudian menghela napas lega. Ini semua berkat Derrel. Ternyata disetiap kesialannnya terselip sedikit keberuntungan. Sepertinya Atilla sudah bisa mempertimbangkan barangkali dia bisa memaafkan Derrel.

Tapi, segala niatan untuk memaafkan cowok di sampingnya ini pun urung seketika, mengingat bahwa cowok itu tak sepatutnya meminta maaf. Atilla lah yang mestinya berbuat demikian.

Namun, bukan Atilla namanya kalau sifat gengsi, congkak, dan arogan tak ada dalam dirinya.

• • •

"Jadi, karna gue udah nolongin lo tadi, lo harus maafin gue. Oke?"

Atilla hanya diam. Di pikirannya saat ini ialah bagaimana caranya agar ia dapat segera ke kantin untuk menenangkan cacing-cacing di perutnya yang sepertinya sudah berkoar-koar. Tentu saja ia ingin pergi sendiri, tanpa ada Derrel yang mengikutinya.

CephalotusWhere stories live. Discover now