15. Epic Comeback?

1.7K 202 27
                                    

Keterbiasaan adalah alasan untuk nyaman.
-Derrellio Rellio

• • •

"Bubar semua! Ini bukan tontonan!" bentak Arkan yang memanfaatkan perannya sebagai seorang pengurus OSIS.

Hampir semua siswa yang ada di situ berangsur pergi, namun pergerakan mereka terinterupsi tiba-tiba.

"Heh! Kalian kok takut sama si Arkan sok hebat ini?" Pandangan Hanna seperti melucuti tiap senti tubuh Arkan. "Cuma karna dia pengurus OSIS kalian mau diperintah sama dia? Kita sekolah di sini bayar! Sama kayak dia juga! Ngapain takut sama dia? Kita bayar di sekolah ini bukan buat nurut perintah dia,"

"Oh ya?"

Sayangnya, Daneen dan teman-temannya—khususnya Hanna—tak menyadari bahwa bubarnya kerumunan itu tak serta merta karena perintah Arkan. Mereka tak menyadari bahwa Pak Aryo sudah ada di sana bahkan sebelum Atilla tiba.

"EhBapak..." Nada yang pertama kali menemukan Pak Aryo di belakang mereka langsung menyengir. Entah mungkin karena takut atau grogi, dia berbalik dan hendak kabur dari sana.

Jelas Pak Aryo mencekal tangannya saat itu juga.

"Daneen, Tania, Hanna, dan Nada, ikut Bapak ke ruang BP. Sekarang!"

"Eh, nggak bisa kayak gini dong Pak. Bukan kita yang tempelin ini semua di mading." Daneen dengan keangkuhannya menarik Nada untuk lepas dari cekalan Pak Aryo.

"Bohong, Pak. Satu-satunya orang yang berpotensi buat lakuin ini ke Atilla cuma Daneen. Apalagi, dia sama Atilla lagi ada konflik," timpal Sammy.

"HEH CUPU! Lo jangan asal nuduh! Emang lo punya bukti kalo gue dan temen-temen gue yang lakuin ini?"

" Udah! Daneen, Nada, Hanna, dan Tania, ikut Bapak sekarang, kalau kalian masih ingin sekolah di sini."

Mendengar ancaman itu, geng Butterflies menebar tatapan benci ke arah Derrel dan teman-temannya sebelum mengekor di belakang Pak Aryo.

• • •

Aline tengah menggantungkan celemeknya di tempat semula saat selesai menata makanan di meja. Sebenarnya dia merasa kerepotan dalam melakukan pekerjaan rumah di samping sisa waktunya bekerja di kafe.

Dia memang hanya tinggal menunggu pembantu yang dia dapatkan dari jasa penyalur pembantu datang dari kampung, namun untuk urusan dapur dia bertekad untuk melakukannya sendiri. Atilla bisa saja luluh padanya melalui masakan yang ia sajikan setiap hari, pikirnya.

Aline berjalan terburu-buru ke ruang tengah saat nada dering dari ponselnya menggema sampai ke dapur. Dia sedikit terkejut saat mendapati nomor ponsel Meira lah yang ternyata menghubunginya siang ini.

Aline berdeham sesaat sebelum menekan tombol hijau di layar. "Halo?"

"Saya yakin kamu belum berubah pikiran untuk menemui saya seperti kemarin. Oleh karena itu, saya minta kamu temui saya di kafe tempatmu bekerja. Kali ini saya jamin tanganku tidak akan sembarangan menampar siapapun."

"Oke. Saya ke sana sekarang."

Saat sambungan telepon sudah terputus, Aline langsung menyambar tasnya yang kebetulan ia letakkan secara asal di meja. Tak perlu waktu lama bagi Aline untuk menghampiri mobilnya jika dalam situasi seperti ini. Setelah menyalakan mesin, saat itu juga mobilnya meluncur ke aspal jalan.

CephalotusWhere stories live. Discover now