Extra Chapter: Unexpected Hero

453 49 48
                                    

Mungkin sudah waktunya aku percaya. Pada cinta, pada semesta. Bahwa setiap luka akan temukan penawarnya. Dan bahwa selama ini memang kamulah orangnya.
— Atilla Solana

• • •

Sekali lagi, Arkan meremas kuat ujung koran yang sedang dibacanya, pemandangan yang terpampang di hadapannya membuatnya meringis ngeri sekaligus gemas berkali-kali.

"Itu kakinya salah!" omel Atilla sekali lagi dari pinggir kolam. "Jangan ditekuk, Mama kan udah bilang, kakinya dibuka biar badannya bisa maju!"

Arkan menelan ludah. Jika sudah seperti ini, artinya akan ada orang lain yang akan kena semprotan Atilla jika Derilla belum cukup mendapatkannya. Ia menyesap kembali kopinya, kemudian berusaha tenang.

Dulu, di hari pernikahannya, ia sempat memimpikan hari ini. Hari di mana dirinya duduk menyesap kopi buatan Atilla di sore hari, sambil menonton Atilla mengajari Derilla cara berenang.

Sayang sekali. Ekspektasi Arkan terlalu jauh. Yang dilihatnya sekarang sungguh jauh dari kata hangat, romantis, apalagi manis. Berkali-kali ia meringis ngeri karena melihat putrinya hampir kehabisan napas, juga menahan rasa panik kala melihat Derilla tak sengaja menelan air kolam.

"Udahlah, Ma. Mungkin passion-nya Derilla memang bukan di renang." Arkan memberanikan diri menyela setelah sebelumnya diancam Atilla untuk tetap diam.

Atilla menoleh, menatap suaminya dengan tatapan jengkel. "Aku cuma mau dia kuat, Pa! Terus, passion nya apa, hm? Joget-joget nggak jelas? Dance modern itu?"

"Ya nggak apa-apa juga, sih. Bukannya dulu kamu juga suka joget-joget?

Dari tempatnya berdiri, Atilla melotot. "MANA PERNAH AKU JOGET-JOGET?!"

"Jadi masuk klub malam itu ngapain kalo bukan joget-joget? Nari piring? Jaipong? Kecak? Atau—"

"PAPA!" Atilla semakin lebar memelototi Arkan dengan tatapannya. Ia menggeleng pelan dengan raut wajah kesal, suaminya itu baru saja mengumbar satu hal yang tak boleh didengar oleh putri mereka. Lebih tepatnya, tak ingin diingat lagi oleh Atilla sendiri.

"Ma—Mama? K-klubbing?" Derilla membekap mulutnya sendiri. Yang ia tahu saat ini tentang ibunya hanyalah seorang wanita tegas perfeksionis yang selalu meributkan tentang bagaimana caranya menorehkan prestasi dalam hidup.

Meski tahu bahwa ibunya itu tak sempat lulus dari SMA, Derilla sempat berpikir bahwa ibunya—Atilla—adalah satu dari sekian manusia ambisius yang mementingkan nilai dan prestasi akademik.

Tapi setelah mendengar penuturan mengejutkan dari sang Ayah, Derilla yakin bahwa ada banyak hal yang tidak ia ketahui tentang ibunya.

Atilla mendengkus kesal. Arkan benar-benar selalu mengucapkan apa saja yang ada di kepalanya tanpa harus disaring lebih dulu. "Nggak usah dengerin yang macam-macam, Derilla. Umurmu sudah lima belas tahun, kan? Itu artinya kamu tau persis kalo papamu ini selain ngomel, hobinya cuma halu dan ngawur."

Arkan terlihat tak terima, ia hendak menyela, ingin menguatkan kebenaran atas ucapannya barusan. Namun semua pergerakannya harus terhenti hanya karena satu tatapan tajam dari sang istri.

Atilla melepas kacamata renang yang menggantung di lehernya. "Naik, Derilla. Kita bakal ke makam Papa Derrel setelah ini."

CephalotusWhere stories live. Discover now