9.Malaikat dan kehidupan

1.3K 93 49
                                    

09.Malaikat dan kehidupan

Di detik ini Rai ingin banyak-banyak berterima kasih pada semesta yang seakan tahu keinginan sederhananya untuk di beri kipas alam, semilir angin terus menerpa wajahnya yang berkeringat akibat mengerjakan hukuman, ia rehat sejenak bersama Xabiru di sisi bersih dekat ember-ember cat.

Wajah mereka berdua terdapat noda cat. Mengobrol hal-hal kecil yang membuat belakang gudang ini dipenuhi oleh tawa nyaring dari keduanya. "Bener deh biru saya emang terhibur, tadi kamu ngingetin saya ke ayah saya yang ada di Jakarta, dia sama kaya kamu suka banget bercanda atau ngarang biar kita ketawa 'sering bercanda bakalan awet muda ca' kata legend yang selalu dia keluarin kalau perut saya udah keram karna ketawa."

Anak ceria ini ternyata dari ayah yang hebat. "Dia bakalan satu geng sama gue kalau tiba-tiba ada keajaiban umurnya muda lagi, gitu kira-kira Ra?" sambil tertawa kecil Rai mengangguk.

"Makasih biru," kata Rai tiba-tiba. "Makasih udah sedikit ngilangin rindu saya ke ayah."

"Kenapa ayah lo di Jakarta?"

"Ya karna itu tempat tinggal kami---kami keluarga Febrianto."

"Terus lo kenapa di Bandung?"

"Sebenernya ini privasi sih tapi karna kamu udah jadi teman saya---"

"Teman kerja jadi dukun?" Rai tertawa lagi.

"Biru diem dulu sih?!" sebal Rai dengan sisa tawa. "Jadi saya boleh kan cerita alasan dibalik kata sempurna-sempurna yang sering kamu lontarin ke saya itu?" tanpa pikir panjang Xabiru mengangguk mantap.

Sebelum bercerita Rai membuang nafas panjang perlahan. Coba memasang mimik biasa saja. "Kacau sih, saya pernah kecelakaan fatal sampai ngalamin kebutaan dan lumpuh sementara."

"Rai kalau bikin sedih nggak usah."

Secepat kilat Rai mengibaskan tangan. "Ga kok biru, saya udah damai sama masa-masa pahit itu." Xabiru diam menunggu Rai lanjut cerita, mata Rai memandang atap langit gudang, seolah itu adalah TV yang memberikan tontonan nostalgia di masa kelam dulu. "Walau udah damai nggak bisa dikatakan masa itu 'masa yang mudah' tetap aja pahit, semua orang rumah kena imbasnya, saya cengeng, sering ngeluh, gak mandiri, semangat hidup tipis dan---ah pokonya buruk banget. Warga rumah bener-bener harus puter otak buat bikin saya senyum, senyum hal yang paling mudah tapi sangat saya musuhi dulu. Setelah terapi lancar dan ada yang mau kasih pendonor mata---saya sembuh langsung berpikir 'saya kayanya harus berubah deh, kemarin itu saya bener-bener beban keluarga banget' ya walaupun orang rumah nggak pernah bilang, bisa-bisa saya di Tipe-X dari KK sih kalau bilang ngerasa jadi beban keluarga," Xabiru tersenyum tipis bercampur sendu. Haru saja melihat keluarga kecil Rai amat penuh cinta.

Kedua tangan Rai bergerak-gerak ke angin seolah tengah menjelaskan. "Karna biru bener-bener deh, nggak cuma materi mereka yang saya kuras habis tapi juga tenaga mereka, mereka banyak banget ngeluarin effort buat saya, andaikata sih capeknya pasti lahir batin, jadi setelah saya kembali bisa berdiri tegak dan melihat sejauh mata memandang saya mutusin buat ngerubah hal-hal buruk saya jadi lebih baik. Biru ... pengalaman hidup itu bener-bener pelajaran paling dasyhat yang bikin kita mau pindah dari titik satu ke titik lain, serius."

"Artinya lo nggak jadi diri sendiri lagi sekarang?" tanya Xabiru menyimpulkan.

Tawa kecil terdengar dari Rai, menatap wajah Xabiru yang lebih belepotan akibat cat, tersenyum manis lalu menggeleng. "Tetep biru, saya sekarang tetep jadi diri sendiri versi yang lebih baik."

"Kalo sampai kita nggak nikah gue marah banget sama Pak wendi," guraunya yang keribuan kali kagum oleh jawaban Rai.

Rai tertawa nyaring. "Nikah nggak nikah emang kamu udah dendam biru sama pak Wendi!" keduanya tertawa geli.

XABIRU [END]Where stories live. Discover now