40.Ra selamat bahagia ya.

728 71 3
                                    

"Semua cerita tentangnya yang membuatku selalu teringat akan cinta yang dulu hidupkanku." -Stevan Pasaribu-

40.Ra selamat bahagia ya.

Mau tidak mau, bisa tidak bisa hidup terus berjalan. Empat bulan terakhir di Jakarta keadaan Rai tidak baik-baik saja, ia semakin kacau. Pipi chabinya berubah tirus dengan tumbuh ramping yang jadi mengurus, kecil. Banyak melamun, dan lebih suka menyendiri.

Raga tanpa jiwa cocok menggambarkan dirinya saat ini.

"Enak, pa?" Aurora bertanya cadel pada Kale. Ya, dia anak Abang Rai yang usianya memasuki tiga tahun.

Semenyakinkan mungkin Kale mengangguk, kembali menyesap kopi yang rasanya asin. "Pa lagi apa sih?" mata bundar bercahaya lucu tersebut melihat pada layar laptop yang akhir-akhir ini sibuk dimainkan Papanya.

Kale menyimpan laptop ke meja, menggendong putrinya. "Ah itu cuma urusan kerja sayang, nda di dapur sama nenek?" Aurora mengangguk. "Ayo kita recokin," ajak Kale membuat anaknya kegirangan.

Aurora itu tipe anak yang sangat aktif, kakeknya yakin besar nanti Aurora pasti akan jadi jagoan sekolah, katanya. "Ya ampun Aurora nanti jatoh!" omel Anya saat putrinya naik ke pantri untuk ikut mengocek-ngocek adonan. Anya adalah Istri Kale.

"Yang nambahin gula di kopi ku Aurora?" tanya Kale sambil mengusap lembut tepung di pipi sang istri.

"Yeahh, kenapa emangnya? kemanisan?"

Mendengarnya Kale terkekeh geli. "Keasinan."

"Eh?"

"Udah nanti-nanti kalau mau mesra-mesraaan di rumah kalian aja, jangan disini," kata Risa tersenyum geli -Bunda Rai dan Kale- pada pasangan suami istri itu. "Nya tolong tambahin garam---aduh Aurora jangan di icip itu bumbu lada sayang!"

Orangtuanya langsung panik mengambil air minum, rengengan Aurora terdengar mememakan telinga, rusuh, ditambah dapur mengepul debu terigu dari siku Anya yang menyenggol baskom berisi tepung.

Saat debu dari tepung mulai hilang di udara serempak memekik kaget melihat Rai yang berdiri tegak, mirip hantu. Pakai kaos putih oversize, rambut panjanganya berantakan dan wajah datar yang sudah menjadi khasnya. Menghiraukan tatapan kaget dari orang rumah, Rai memilih pada tujuannya. Mengambil air di gelas lalu melengos pergi, naik kembali ke atas.

"Nda kok hantu ada ciang-ciang?" tanya Aurora membuat mereka saling lirik, seperkian detik kemudian tertawa renyah.

Ini memang hari libur jadi seluruh keluarga hadir, kecuali ayah Febrianto tentunya.

Menjelang malam Bunda dan Anya kembali menyiapkan masakan. Ditata rapi ke meja makan. Anya berjalan ke sofa, tersenyum simpul melihat suaminya masih sibuk dengan laptop.

"Makan dulu papanya Aurora," kata Anya lembut duduk di sebelah Kale.

Tanpa menoleh Kale bersuara. "Papanya Aurora suaminya siapa?"

"Tetangga," balas Anya bergurau diakhir tawa. Kale menoleh dan mencium pipi Anya kilat.

"Ayah belum pulang? sebentar deh," katanya kembali pada layar laptop.

"Ayah Anto lagi mandi, bentar lagi turun. Mas, ca aku yang panggil boleh?" mendengar nama itu Kale kembali menoleh, mengangguk sedikit lesu.

Suana riang di meja makan tidak membuat Rai mau bersuara, ia tetap bungkam. Fokus pada makan malamnya.

"Sepeda Aurora rusak sama ayah lagi?" Kale membuka obrolan, menatap ayahnya yang mengiris daging pura-pura tidak tahu.

"Iya, masa ayah yang naik Aurora yang dorong!" omel Risa. Semua tertawa, kecuali Rai.

XABIRU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang