4 - Kania

901 181 28
                                    

4

Malam itu bagaikan tato yang tercetak sempurna dalam ingatan Kania, tersimpan pada suatu selubung yang ia jaga rapat-rapat. Rahasianya, kebebasan kecil yang ia curi diam-diam. Apabila Kania diberikan kesempatan lain untuk mencicipi kembali kebebasan tersebut, ia akan menggapainya, merentangkan tangan dan meraihnya. Dan kalaupun tidak, Kania akan terus mengekalkan kenangan tersebut. Menggoreskan grafit pada buku sketsanya di kala momen itu memudar dari ingatannya.

Di bawah bayangan jubahnya, pandangannya mendapati huru-hara warga ibukota memadati alun-alun terasa asing sekaligus familiar dalam waktu bersamaan. Selama ini ia memandangi ibukota dari kejauhan, mengagumi terang keemasan lentera serta mendengarkan sayup-sayup ricuh kebahagiaan warga yang mengetuk jendelanya. Kania memiliki beberapa ekspektasi, namun kenyataan berdiri di antara kerumunan itu melebihi segala harapannya.

Berbagai aroma meledak di sekelilingnya. Aroma gurih jajanan Reibeart yang hanya ia kenal melalui bacaan. Kecut keringat orang-orang yang berkumpul menantikan kembang api. Lidahnya mencecap manis gulali yang seketika meleleh dalam rongga mulutnya. Pandangannya juga dimanjakan oleh warna-warni letusan kembang api, serpihan konfeti yang beterbangan melaluinya. Kata-kata kasar Reibeart yang tidak pernah ia dengar sebelumnya, aksen penduduk daerah yang mengunjungi ibukota hanya untuk satu malam itu; Festival Malam. Indranya bukan dibangkitkan melainkan dilahirkan kembali.

Sementara ingatan akan sentuhan memacu jantungnya dalam tempo yang tidak pernah Kania tahu memungkinkan. Genggaman pria itu menuntunnya dari satu jalan ke jalan lainnya. Lebar dan besar telapak tangan pria itu tidak menyeretnya, memahami kadar kebebasan yang dibutuhkan Kania. Jemari yang bertaut dengan miliknya, panjang serta kasar. Menikmati tiap gesekannya, menghapal rasa tangan pria itu melingkupinya.

Serta kecupan itu. Terima kasih Kania kepadanya—entah siapa namanya. Manik kelabunya berkilat keperakan, membeliak terkejut. Rambut pirangnya menggelitik sesuatu dalam diri Kania. Mendorong jemarinya merapikannya, membingkai ketampanannya terlampau tepat. Tangan gemetarnya menangkap sentuhan Kania dan ia pikir saat itu singgungan bibir mereka akan menjadi sesuatu lebih. Namun, hunusan pedang Daria menginterupsi mereka. Kania tidak tahu hingga saat ini, apakah ia harus berterima kasih atau kecewa atas gangguan dari kakaknya.

Kania mengetuk pensil pada buku sketsanya, memikirkan apa lagi detail yang tertinggal dari sepasang mata paling indah itu. Bulu mata panjang nan tebal, hitam pada akarnya dan berubah emas. Iris abu-abu seperti kabut di pagi hari, mengirimkan gigil serta dingin, hanya segelintir orang memahami keindahannya, ketenangan dari menyelam ke balik permukaannya. Mata paling indah. Satu-satunya objek manusia yang ia lukis.

Dari sudut matanya, ia menangkap sosok tinggi Caiden melintasi taman. Tungkai panjangnya berhenti dekat bangkunya. Kania berpura-pura menggoreskan sesuatu, mencoret hitam di atas permukaan kertas.

Caiden berdeham. "Apa kau sibuk?"

"Kira-kira," Kania masih menggores entah apa di bukunya, "kesibukan apa yang dapat melanda seorang putri lajang sepertiku? Minum teh dan membicarakan hal-hal bodoh, tampaknya."

Caiden menarik bangku lain dan duduk menghadap Kania dengan jemarinya bertautan, seakan sedang menelitinya. Kania memosisikan dirinya sedemikian rupa, menyembunyikan buku sketsanya dari pandangan kakaknya. Buku sketsa itu sudah seperti buku hariannya. Ia tidak memperbolehkan sembarang orang mengintip corat-coretnya kecuali Ibu. Memamerkan buku sketsanya tak ubahnya menelanjangi Kania dan memintanya bernyanyi di panggung.

"Aku memerlukan perhatianmu barang sebentar saja, Kania." Kakaknya pantang menyerah.

Menutup buku sketsanya, Kania menengadahkan kepala, membalas tatapan kakaknya. "Kalau aku tidak salah dengar, ada masalah gagal panen di barat yang harus kau benahi, kompensasi pajak bagi keluarga yang kehilangan anggotanya di Cardinia, serta kebijakan baru lebih manusiawi bagi buruh cat di wilayah timur." Kania memicingkan matanya, "Kau seharusnya bekerja di ruanganmu, Yang Mulia."

KANIAWhere stories live. Discover now