10 - Kania

743 185 62
                                    

10

Kania tidak menyiakan satu bulan pelayarannya ke Kekaisaran dengan percuma. Ia memanfaatkan hari-hari luangnya berdiskusi dengan Dorian dalam Bahasa Dyre, mempelajari kosakata diplomatis yang tidak pernah Kania tahu sebelumnya (walaupun, secara refleks, Dorian selalu membalasnya dengan Bahasa Benua Tengah). Terkadang juga, seusai makan malam, sebelum pelayan pendeta suci Dyre mengantarnya kembali ke kamar, ia menyempatkan diri mengamati Ajax dan pasukannya berbincang kepada awak kapal dalam bahasa yang dapat membuat bajak laut Czian sekalipun berubah malu. Ia memahami beberapa katanya sebagai alat kelamin, beberapa lainnya merupakan lelucon yang tidak pantas diceritakan di hadapan seorang wanita.

Tapi, mereka mengira Kania tidak memahami satu pun kata kasar yang mereka semburkan dan Kania lebih memilih untuk diam, menikmati kevulgaran itu sesekali. Mungkin, di masa yang akan datang, kata-kata itu akan berguna sebagai senjata pamungkas dalam arsenalnya—tidak ada yang tahu. Kania, bagaimanapun, senang berjaga-jaga menghadapi kemungkinan terburuk.

Kania tengah membaca buku geografi Kekaisaran pinjaman Dorian (yang mana ditulis dalam Dyre, tentunya, dan pada titik ini, ia harus bolak-balik membuka kamus, mengartikan beraneka istilah ilmiah yang tidak ia ketahui) ketika ia menyadari kapal berhenti melaju. Dari hingar-bingar luar kamarnya, Kania mampu menyimpulkan bahwa kapal telah berlabuh di Dresden, ibukota Kekaisaran Dyre.

Beranjak dari meja baca, Kania menyibak tirai jendela kecilnya. Dari bingkai sempit itu, tidak banyak pemandangan yang dapat ditawarkan. Ia melihat beberapa pelaut bertegur sapa dengan awak kapal bagai teman lama sembari membantu kapal berlabuh di dermaga. Di kejauhan, meski tertutup oleh sepasukan prajurit berkuda, ia menangkap sekelebat kereta kuda hitam mengkilap lengkap dengan lambang serigala merah keluarga Kekaisaran.

Jantung Kania mendadak berdegup kencang. Mungkin, di dalam kereta kuda, sang Kaisar telah menunggunya. Ia telah mengorek pelbagai informasi dari Dorian, Ajax, bahkan pelayannya selama pelayarannya. Namun, tidak banyak yang dapat ia gali selain fakta bahwa sang Kaisar semula bukanlah pewaris sah takhta Dyre dan tidak sedikit bangsawan yang menentang kekuasaannya. Sang Kaisar, Kania menyimpulkan, merupakan pria penyendiri serta tertutup.

Kala ketukan menghujani pintu kabinnya, ia tahu siapa pemilik ketukan tersebut. Ketukan teratur yang terdengar hampir sistematis.

"Masuk," sila Kania, memutar badannya mendapati tubuh tinggi Dorian memenuhi bingkai pintunya.

Kedua manik hijau Dorian jatuh pada buku geografi yang terbentang di atas meja. "Bagaimana? Menarik, bukan?"

"Dibandingkan menarik," Kania meraih buku tersebut, "lebih tepat dikatakan—" jeda sepersekian detik, membiarkan benaknya mencari-cari kata yang sesuai dalam Bahasa Dyre. "—menantang."

Dorian tersenyum, menawarkan lengannya kepada Kania yang ia terima senang hati. "Luar biasa," ujar Dorian. "Aku percaya dalam hitungan bulan Anda dapat membuat para menteri kami tercengang," ujar Dorian.

Angin malam hari mengembus dingin pipi Kania, mengacaukan tatanan rambut yang pelayannya siapkan untuk menyambut sang Kaisar. Dirias sedemikian rupa, diserahkan seperti hadiah tercantik bagi—Kania menghirup napasnya—suaminya. Pria yang menunggu di kereta kuda itu, mungkin tengah memperhatikannya, menilai kepantasannya, cara berjalannya, menghakimi tanah kelahirannya, dan segalanya.

Namun, Kania tidak membiarkan pemikiran tersebut mempengaruhinya. Ia mengangkat dagunya dalam sudut yang mampu membelah lautan, menegakkan punggungnya lebih gagah dari gunung tertinggi di semesta. Tidak akan ada yang menentukan nilai dirinya selain dirinya seorang. Langkahnya melintasi dek disambut dua deret pasukan yang dikomando Ajax di kiri dan kanan, membungkuk, memberikan hormat kepada ratu mereka. Sementara di hadapannya—

KANIAWhere stories live. Discover now