Extra - Dua Tahun Lalu

656 127 22
                                    

EXTRA – Dua Tahun Lalu

Selama delapan belas tahun, Kania tidak pernah membayangkan dirinya sebagai tokoh utama dalam kisah hidupnya. Ia selalu menyaksikan keempat kakaknya bersinar dengan cara mereka masing-masing, dikenal dan dicintai rakyat karenanya. Setiap kali pandangan Kania berubah penuh harap melihat kakaknya berkarya, Ibu akan menyentuh bahunya. Mengelusnya penuh sayang, namun menahannya di tempat. Seperti membelenggu kakinya, membuatnya berputar pada ruang yang sama meskipun tangannya terentang, berniat menggapai punggung keempat kakaknya. Ia akan menggedor penjara tidak kasat mata itu, meminta pertolongan dari dunia luar. Tidak seorang pun menggubrisnya.

Sebab, mereka bahkan tidak membiarkan Kania bersuara.

Tetapi, pria itu mendengar suara hening Kania. Emosi yang tertuang gamblang pada goresan kanvasnya. Satu-satunya yang menyadari ketukan samar Kania, hinggap untuk bertanya. Mengapa seseorang dengan keindahan seperti Anda, melukiskan kesepian yang mendalam? Pertanyaan sederhana, namun keberanian itu yang dibutuhkan mengempaskan sesak di relung dada Kania. Delapan belas tahun dan itu adalah kali pertama seseorang meraih dirinya.

Kania tahu ia sudah gila. Jikalau Daria tahu, ia akan meledeknya tiada henti. Apabila Caiden tahu, ia akan menyarankan Ibu memperketat pengawasan Kastil Gemma. Namun, setidaknya, untuk semalam saja biarkan ia mencicipi udara bebas di ibukota yang kerap ia dambakan. Mengenalkan rasa dunia kepada lima indranya. Menjelma gadis nakal dan petualang, bukan putri yang dituntut sempurna dalam segala hal.

Di sana pria itu berdiri, menyamarkan diri di antara bayang-bayang. Tetapi, sekalipun jubah cokelat menutupi wajahnya, pria itu tidak dapat menyembunyikan diri darinya. Kania menghapus jarak, sementara pria itu berbalik, menyadari kehadirannya. Mereka adalah pusat gravitasi bagi satu sama lainnya. Sepasang manik paling indah itu berkilat menemui milik Kania dan kendati samar-samar, ia mampu menerka ulasan senyum. Jantung Kania berdebar.

"Aku pikir kau tidak akan datang, Tuan Putri."

"Tadinya, aku berpikir untuk membiarkanmu menungguku di sini hingga tengah malam." Kania melanjutkan, sedikit dramatis, "Tetapi, aku tidak tega."

"Pemikiran bijak," pria itu mengangguk. "Kau tidak dapat memercayai sembarang pria, Tuan Putri, itu pelajaran nomor satu."

"Apalagi memercayai pria tampan misterius yang menemukan jalan rahasianya ke dalam Kastil Gemma. Keluargaku akan histeris. Apa kau mata-mata?"

Pria itu terkekeh. Sebuah ketukan manis yang bergetar pada tenggorokannya. "Bagaimana jika aku katakan ya? Seorang mata-mata? Dari Dyre?"

"Separuh bagian diriku tahu aku seharusnya menjauhimu, Tuan." Kania bersedekap. "Tapi, aku sudah sampai sejauh ini. Aku bahkan mengatur seseorang berpura-pura menjadi diriku. Tentu kau tidak akan menyiakan waktu gadis ini bukan?"

"Tergantung kepadamu." Pria itu memandangi bulan dalam cahaya paling redupnya. Saat paling tepat mengendap-endap. "Ada satu peraturan yang harus kau taati, Tuan Putri. Dalam kondisi apapun, kau harus menggandeng tanganku sampai aku yakin kau aman."

"Mudah," ujar Kania.

Ia mengulurkan tangannya, "Apa kau memercayaiku?"

Dengan kemudahan aliran air, Kania menyelipkan tangan ke dalam genggamannya. Kali pertamanya ia menyentuh tangan pria itu tanpa dibatasi sarung tangan. Hangat, besar, kuat, sedikit kasar. Memberikan keyakinan bahwa Kania aman bersamanya. Tidak satu pun jiwa berani mengancamnya. Kania tahu, berapa kali pun pria itu bertanya, ia akan selalu menerima uluran tangannya. Untuk beberapa saat, mereka membeku, mengagumi tiap gesekan kulit mereka—sampai akhirnya pria itu berhati-hati mengangkat jubah menutupi wajah Kania.

KANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang