51 - Ragnar / William

557 136 71
                                    

51


Mereka membagi serangan menjadi dua gelombang. Bermaksud mengepung pasukan lawan dari dua sisi. William memimpin gelombang pertama bersama para sekutu, mengecoh perhatian lawan dengan kehadirannya. Sementara Duke mengepalai gelombang kedua, menunggu di laut lepas hingga aba-aba digaungkan. Duke akan datang bersama pasukan spesial William, prajurit-prajurit hasil eksperimennya dengan Zahl. Menyapu rata Dyre dan sekutunya—itu apa yang dicanangkan sang Raja. Kemenangan semudah membalikkan telapak tangan. Para pemenang akan mengenangnya sebagai penghargaan dan, di sisi lain, yang kalah akan mengingatnya sebagai pembantaian.

Duke kira ia telah kehilangan detak jantungnya, namun memandangi pesisir pulau Usha, denyutnya mulai berdebar kembali. Seakan kutukan Valentina malam itu perlahan terkelupas dari kehidupannya. Sebentar lagi, batinnya, selangkah demi selangkah. Ia mampu mematahkan kebangkitan sang Malaikat. Tidak—ia bahkan akan mencegahnya. Semua darah yang ditumpahkannya, hanya untuk satu momen ini. Tetapi, untuk saat ini, ada perkara lain yang harus ditangani.

Begitu kapalnya merapat pada kapal tawanan Waisenburg, Duke memutar tumit, mengalihkan pandangannya dari pulau para Usha. Ia baru saja hendak menuruni tangga ketika pandangannya menangkap bercak darah yang tidak hilang sempurna dari lantai dek kapal di seberangnya. Pemandangan akan darah tidak lagi membuatnya menggigil. Namun, kenyataan bahwa ia mengenal baik cairan merah itu seolah mengemukakan lebih lantang: Dominicus Ragnar telah meninggal. Sosok bocah itu telah tiada. Hanya tersisa serpih tujuan bocah itu.

"Tuan Duke," kapten kapal itu menyilangkan satu tangan di dada, menyambut kedatangannya. Dari warna wajahnya tampak sang kapten kekurangan tidur. Beberapa prajurit berlalu-lalang dengan pincang.

"Apa yang terjadi?" Duke menoleh ke arah sang kapten dan seketika pria itu membeku. Mengatupkan mulutnya rapat-rapat seakan takut Duke merebut lidahnya, memotong, dan melemparnya ke hiu di lautan. Oh, Duke mempertimbangkannya. Duke mempertimbangkannya—tetapi, ia tidak boleh membuang satu detik pun percuma. Ia membuang amarahnya ke pinggiran.

Kesabarannya terbayarkan. Sang kapten menjawab, "Tahanan Anda, Tuan—" leher pria itu seakan tercekik oleh kernyitan dahi Duke, "—semalam ia melarikan diri."

Duke mampu merasakan syaraf di sekujur tubuhnya mengeras. "Bagaimana mungkin?"

"Wanita itu—Selene—"

Detik itu, Duke melihat sebersit rambut merah di seberang dek menghindari tatapannya. Wanita itu buru-buru menuruni tangga menuju lambung kapal. Duke segera melesat, kecepatan langkahnya menandingi milik Selene. Genggaman Duke menemui lengan kurus Selene di dasar tangga, menahan pergerakan wanita itu lebih lanjut. Selene terkesiap oleh amarahnya. Wanita itu gemetar tak ubahnya mangsa di bawah cengkeraman predator. Tetapi, tatapan biru matanya sukar goyah.

"Selene," mulai Duke perlahan. Detak detik amukan badai. "Mengapa kau menghindariku?"

"Oh, Duke," dari manik birunya itu meleleh cairan tangis. "Aku dapat menjelaskannya kepadamu."

"Jadi, kau tahu apa salahmu?" Duke merapatkan punggung wanita itu pada dinding kapal ketika seorang awak kapal berjalan melalui mereka, penuh rasa penasaran.

"Ia—" Selene memejamkan mata, kepalanya menggeleng. "Aku tidak bermaksud mengkhianatimu. Aku pikir kau akan mengerti."

Aku tidak bermaksud mengkhianatimu. Kalimat itu menggema panjang dan membekas dalam kalbu Duke. Di benaknya berkelebat wajah Ling. Mereka tidak pernah bermaksud mengkhianatinya—tidak ada yang pernah bermaksud demikian. Tetapi, kepercayaannya terlanjur luntur, bersamaan kesabarannya yang luruh oleh guntur. Ia tahu tiada seorang pun yang dapat ia percaya di dunia ini kecuali dirinya. Tetapi, mengapa lagi-lagi ia melakukan kesalahan sama? Mungkin karena Duke menemukan suaka pada biru permukaan matanya. Atau, kehangatan pada merah kilat rambutnya.

KANIAWhere stories live. Discover now