29 - Kania

592 150 49
                                    

29 - Kania

              Bagai lapisan kaca tipis, lelapnya hancur dilebur dentuman itu. Dalam sekejap ia membuka kelopak mata. Sekujur syarafnya menegang selayaknya senar biola, jantungnya berpacu akan kesiagaan. Meraih jubah yang tersampir di sofa dekat ranjang, Kania membungkus tubuh berupaya menghalau gigil meski tahu percuma. Sebab, gigil tersebut tidak dibawa semilir angin malam dari sela-sela jendela, melainkan datang dari ketakutan mendadak dalam dirinya. Memori kelabu akan hari itu di hadapan Clarendon berkelebat. Ketakutan yang sama mencengkeram isi perutnya. Kematian seakan berjarak tidak lebih dari satu embusan napas.

Membuka jendela, kini genderang telinga Kania disambut simfoni suara dari sayap utama Kastil Dresden. Teriakan, kobaran api, serta gemuruh-gemuruh yang menggetarkan lantai tempat kakinya berpijak. Mereka dikepung dan diserang. Tidak ada lagi penjelasan yang mampu menyimpulkan kekacauan itu. Decit sakit menyulut hati Kania teringat akan sosok Reagan, lebar bahu serta kepastian tatapannya, meninggalkan kamar Kania enam jam lalu. Apa yang terjadi? Apa misinya gagal? Bagaimana para pemberontak sampai di Kastil Dresden?

Ia tahu ia harus segera melarikan diri, namun suara-suara bencana itu tidak ubahnya deru ombak yang menyapu mendekat. Ia baru saja membuka pelan pintu saat mendengar hantaman dan eragan kesakitan penjaganya dari luar kamar. Selirih angin, Kania mengintip dari daun pintu, kematian brutal yang melukis koridor. Kobaran api yang menghalau dari dua sisi berbeda. Dua pria asing dibalut pakaian serba hitam menghamburkan menggorok leher keempat penjaganya. Darah menodai dinding-dinding koridor, lilin mendesis oleh tetesan darah yang jatuh dari kusen jendela. Bau amis yang lebih menyengat dari cat minyaknya, mendesak keluar isi perut Kania, asam serta menjijikan.

"Itu sang Ratu!" salah satu dari mereka menyebut. Menyadari kehadiran Kania. Meraih ke arahnya.

Kania gesit menarik diri dari pintu. Dengan satu sentakan tangan Kania, kekuatan tak kasat mata itu membanting pintu. Terlampau kencang untuk ukuran seorang wanita. Jeritan histeris kini bergema menghantui lorong. Remang cahaya lilin membantu Kania melihat apa yang telah ia perbuat: menjepit putus jari pria itu. Merah darahnya berseteru gelap pada bingkai pintunya. Tiga jarinya tergeletak bagai kelopak bunga layu, berjatuhan.

"Wanita sialan," sergah yang lainnya. "Bebat tanganmu dengan ini, aku akan mendobrak pintu."

Tidak ada jalan lainnya, pikir Kania. Peluh mulai membasahi punggungnya. Pikirannya berkelebat cepat. Kemudian, ia membawa berat ranjangnya memalangi pintu detik di mana dobrakan pertama pemberontak itu menabrak.

"Pegang ini," ujarnya, diikuti desing peluru merogoh lubang kunci. Satu, dua, tiga kali. Tampaknya, mereka berpikir Kania mengunci pintu.

Kania berderap meraih kandil dekat ranjangnya, tidak menyadari hingga detik itu bahwa genggamannya bergetar. Ini adalah apa yang selalu Ayah dan Ibu takutkan; keselamatannya. Mereka menjauhkan Kania dari segala mara bahaya, mengurungnya di balik jendela dan bata kastil. Keempat kakaknya menjaga Kania dua puluh empat jam tujuh hari. Namun, sedikit mereka ketahui bahwa, seperti saat ini, bahaya datang tanpa pandang bulu. Benteng dan penjaga tidak lagi dapat diandalkan. Berdiam diri hanya akan membuatnya terbunuh mengenaskan.

Ia melenggang masuk melalui pintu rahasia di balik lukisan danau. Lilin di tangannya menjadi satu-satunya pelita di antara kegelapan. Tungkainya bergerak maju dipimpin oleh ingatannya. Lantunan instruksi Dorian di hari-hari pertamanya menyesuaikan diri dengan Kastil Dresden, tercetak pada ingatan Kania tak ubahnya senandung lagu masa kecil. Lurus hingga pertigaan kedua. Ambil kiri, terus hingga kau menemukan cabang dua—tetapi, jangan terkecoh. Putar obor besi di hadapanmu empat puluh lima derajat. Turuni tangga dan kau akan sampai di taman belakang dekat istal kuda. Akan ada prajurit dan kuda yang akan menunggumu jika bahaya datang, membawamu pergi.

Kania mengukuhkan rahangnya. Sayup-sayup lolongan dan suara robekan kulit mengiringi tiap pijakan kakinya. Bedebam dan gemuruh pilar-pilar jatuh. Kakinya gemetar, namun ia mengeratkan genggaman pada kandil. Semua akan baik-baik saja, suara menenangkan Ibu bergema jauh dalam hatinya.

Di penghujung jalannya, tangan Kania meraih obor besi, memutarnya sedemikian rupa sehingga pintu tersembunyi lainnya terbuka. Detik ia hendak menuruni anak tangga pertama sembari meraba-raba dinding di kirinya, derit pintu lainnya menggaung. Gerombolan suara kasar terdengar dari dasar tangga, melumpuhkan pergerakannya. Hanya ada satu kesimpulan berputar di pikirannya. Apabila para pemberontak itu datang dari pintu rahasia taman belakang, maka dapat dipastikan bahwa tiada kuda yang menantinya. Tidak juga prajurit yang siap melindunginya.

"Kita harus memblokade semua koridor darurat," ujar salah satu dari mereka. "Kita tidak dapat membiarkan sang Ratu pergi. Sekarang, menyebarlah." Derap mereka menaiki tangga laksana ketukan kematian.

Kania menutup dinding di balik punggungnya. Dengung suara pemberontak lain mengepungnya dari dua sisi berbeda. Cahaya lilin yang digenggam mereka tampak membesar, kian mendekat. Ia memutar tumit ke arahnya datang, memacu larinya satu tingkat lebih cepat. Ia tak ubahnya kelinci kecil dalam perburuan sekelompok serigala. Dadanya kembang-kempis tidak beraturan, ritme cepat napasnya tidak sepadan dengan minimnya udara di dalam terowongan tersebut. Sementara itu, kian jauh ia berjalan, kisruh dan ricuh di sekelilingnya berpantulan dengan tembok-tembok dingin, mempersulit dirinya menerka dari mana sekiranya mereka datang. Seakan-akan Kania sedang berjalan di dalam badai kehancuran itu sendiri.

Sepersekian detik ia berbelok kanan, ia menemui dua wajah pria asing yang membawa kandil dan pisau di kedua tangan. Kania terantuk, mundur beberapa langkah dengan limbung sementara lambat laun kedua pria itu menyadari siapa dirinya.

"Kami menemukannya! Sang Ratu!" seru pria yang lebih tinggi.

Ia berlari dan berlari. Paru-parunya seakan hendak meledak. Ia tahu hanya masalah waktu sebelum pria-pria itu menemukannya. Namun, untungnya bagi Kania, ia mengingat ke mana setiap lorong mengarah, pintu-pintu tersembunyi lainnya. Apabila ada peluang kecil yang mampu ia usahakan, ia akan memperjuangkan kesempatan itu hingga tetes penghabisan. Sisi tubuh Kania mendorong pintu bata di kanan begitu merasakan aliran angin menyapa mata kakinya. Ia menuruni tangga melingkar yang hilirnya membawa Kania ke saluran air bawah tanah. Ia akan mengikuti aliran air dan keluar dari saluran pembuangan barat Kastil Dresden. Setelahnya, ia akan bersembunyi di antara penduduk kota. Semudah itu.

Kania mendorong buka pintu besi di hadapannya. Penciumannya disambut apak dan lendir saluran air, tetapi juga aliran angin segar. Kania berderap menuju kebebasan kendati telapak kakinya pedih bergesekan dengan permukaan lantai. Di ujung sana, cahaya perak bulan bersinar terang, memanggilnya pulang. Tiga, dua, satu langkah lagi—

Wajahnya menghantam dada seorang pria. Disorientasi, Kania mundur goyah. Hidungnya berdenyut sakit. Kepala pria itu membayangi cahaya bulan. Sebelah matanya berbalut penutup mata. Dari balik punggungnya, muncul segerombolan pria lainnya, menyeringai menampilkan geligi tidak rapi mereka. Desas-desus berdesir di antara mereka. Sang Ratu.

Para pemberontak. Mereka mengepung setiap akses keluar memungkinkan. Mereka maju serentak, menghapus tentang—akhir dari perburuan mereka. Dan langkah Kania semakin mundur dan mundur. Mereka salah memilih sasaran. Kania bukan wanita tanpa kekuatan. Sehingga, Kania membentangkan tangan di kedua sisi tubuhnya.

Tapi, sebelum Kania mampu melayangkan peti-peti kayu di sekelilingnya, seseorang mengikat tangannya dari belakang. Lalu, memberi pukulan keras pada tengkuknya. Semua berubah gelap. []


Haloo, sesuai janjiku, aku upload lagi malam ini hehehe <3

Lanjutannya akan diupload lagi juga besok!

Semoga kalian menikmati chapter ini walaupun singkat maaf yak :')

KANIAWhere stories live. Discover now