61 - Dorian / Reagan

907 167 36
                                    

61


Dua tahun kemudian—

Semilir angin menyelinap masuk dari jendela ruang kerja sang Kaisar. Mengirimkan gigil ke tulang punggung Dorian. Ia menolehkan kepala ke jendela, langit kelabu yang menggantung di atas Dresden. Akhir dari sebuah tahun dan awal dari yang lainnya. Dorian memeluk dirinya sendiri, tidak menyangka bahwa semakin dewasa dirinya, entah mengapa, waktu berjalan semakin cepat. Tangan Tonya menemui bahu Dorian, memberikan satu remasan pelan penuh arti. Dorian meraih tangan itu, mengecupnya singkat nan manis—

"Yang Mulia!" Ajax mendobrak buka pintu ruang kerja sang Kaisar.

Jantung Dorian terperanjat dan ia terlonjak dari kursinya. Beberapa saat, lidahnya kelu menemui wajah berantakan Ajax.

Tonya berkacak pinggang, "Tidak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu, Ajax?"

Dan di saat bersamaan Ajax menyahut, "Di mana sang Kaisar?"

Dorian mengelus lengan istrinya, "Tidak apa-apa, Sayang," sebelum berdeham, mengembalikan profesionalitasnya. "Ada apa, Dorian?"

"Seseorang dari selatan melaporkan bahwa ia menangkap sosok seekor harimau raksasa di padang gurun," ungkap Ajax. "Kurasa kita harus mengirimkan pasukan untuk memastikan kebenarannya, kau tahu, mencegahnya berkembang biak dan—"

"Itu hanya mitos penduduk di selatan, Ajax. Kebanyakan dari mereka keturunan Qyhar dan harimau putih adalah makhluk dari mitologi kesultanan tersebut."

"Mungkin," Ajax menyipitkan matanya skeptis, "kita harus mendiskusikannya terlebih dahulu dengan sang Kaisar. Tunggu—" Ajax memindai tatapannya ke sekitar. "Di mana sang Kaisar?"

Tonya membusurkan kedua alisnya. "Dan kau menyebut dirimu sebagai panglima perang kepercayaan sang Kaisar tanpa tahu sudah tiga hari semenjak keberangkatannya?"

Dorian mengangguk setuju, "Hari itu, Ajax, ingat?"

"Ah." Kesadaran merasuk masuk ke benak Ajax beserta berkas-berkas kesedihan.

Dorian juga tiada menyangka bahwa dua tahun lalu mereka mengorbankan begitu banyak hal demi menghentikan sang Malaikat. Jiwa-jiwa berharga. Bukan berarti mereka tidak dapat menjalani kehidupan mereka seperti sedia kala. Hanya saja, kebahagiaan yang mereka rasakan tidak lagi sama, tidak sempurna. Sebab, di hari-hari seperti ini, kala salju pertama tahun itu turun laksana bulu dari sayap seorang malaikat, mereka akan kembali teringat oleh kekosongan itu.


***


"Selamat ulang tahun," bisik Reagan, sebelah tangannya menggenggam kalung Kania. Ia menyandarkan punggung pada dinding kabin buatannya, memandangi langit kelabu yang mendatangkan serpihan salju pertama.

Begitu kapalnya berlabuh dan membawa muatan dari Dyre bagi para Usha, Reagan tidak membiarkan dirinya dicegat lebih lama oleh keramahtamahan suku itu. Kaya, kepala suku Usha, memakluminya, tahu bahwa Reagan akan sangat menghargai apabila mereka tidak mengekori langkahnya berjalan melalui hutan, sampai di Tanah Suci. Mereka tahu obat terbaik bagi luka adalah waktu, kata Kaya.

Sejak perang dua setengah tahun lalu, Reagan akan menyempatkan seminggu dari waktunya di musim dingin, datang ke Pulau Usha, ke tanah bekas medan pertarungan itu. Di saat paling terpuruknya, Thalia menyampaikan masih ada kemungkinan kecil bahwa Kania hidup, menang melawan sang Malaikat di dimensi gelap itu. Thalia tidak berani banyak berjanji. Ia pun tahu betapa mengerikan kekuatan sang Malaikat—kemungkinan menang Kania adalah satu dari seribu.

KANIAOù les histoires vivent. Découvrez maintenant