35 - Kania / Ignatius

637 158 24
                                    

35

Setengah jalan menuju gerbang keluar Kastil Kecil bersama Ajax dan Tonya, seorang pelayan wanita berderap menghampirinya. Ia merunduk, menekuk lututnya, sebelum berbicara dari mulutnya yang megap-megap kehabisan napas. "Yang Mulia Ratu," mulainya, "sang Kaisar mengharapkan Anda di ruang rapat."

"Sekarang?" Kania mengangkat sebelah alisnya. Ia bertukar pandang dengan Ajax dan Tonya. Agenda hari ini adalah mengunjungi Ansburgh dan membicarakan maksudnya kepada Ignatius untuk berlatih Zahl. Reagan mengetahuinya. Hal seperti ini tidak akan luput dari pemikirannya.

"Sesegera mungkin, Yang Mulia."

Membubarkan kehadiran pelayan wanita itu, Kania meniti sendiri jalannya menuju ruang rapat. Ketukan kaki Ajax dan Tonya bergema mengekorinya. Celah tipis membuka pada daun pintu, memberikan Kania sekelumit situasi gawat yang tengah mengawan di dalam ruangan. Para menteri dan penasehat kerajaan duduk di kedua sisi meja panjang hitam berkilat, kerut cemas menghiasi dahi mereka. Dorian berdiri di ujung meja menyuarakan pendapat dan pandangannya. Tepat di sampingnya, Reagan duduk pada kursi lebih megah dengan ukiran rumit, memegang dagunya memikirkan masalah yang dipaparkan menterinya.

Seakan ia mampu mendengar embusan napas Kania, ia mendongak. Kilat singkat berkelebat pada sepasang manik kelabunya. Dengan satu gestur telunjuknya Reagan mengisyaratkan Kania masuk. Perbincangan di dalam ruangan seketika berhenti, segala keributan berubah sunyi. Derak kursi bersamaan menggesek marbel lantai. Para menteri membungkuk, mata mereka memindai Kania. Mengawasi setiap langkah yang diambilnya.

Kania tepat tahu apa yang ada di pikiran mereka semua; muda dan wanita. Apa yang dapat dilakukan seorang wanita berusia dua puluh satu tahun? Mereka meragukan kredibilitas Kania. Tidak seorang pun wanita, apalagi wanita yang diangkat ratu sebagai istri sang Kaisar—kecuali, tentu saja, pemimpin kerajaan seperti ibunya—memijak ruang rapat. Ruangan yang lebih menghargai jenis kelamin dibandingkan kualitas pemikiran. Kania mengangkat dagunya, menunjukkan segala kepantasannya berdiri di ruangan itu.

Hanya manik hijau Dorian yang tersenyum senang. "Yang Mulia," ia mengecup punggung tangan Kania.

Kania menghadap Reagan. "Kau memanggilku."

"Benar. Aku membutuhkan pendapatmu dalam suatu hal," ucap Reagan.

"Yang mana...?"

Dorian cepat menjawab, "Petani di Birgham mogok kerja, Yang Mulia. Mereka menghendaki putri Valentina sebagai pemimpin Kekaisaran."

Kania menarik napasnya tajam, kemudian mengembuskannya perlahan. Pengaruh Valentina luar biasa. Entah dogma apa yang dikobarkan Valentina dahulu, penduduk Dyre beranggapan bahwa hanya wanita itu yang mampu menyelamatkan Dyre. Dipuja-puja sebagai juru selamat.

Tapi, tentu saja, apabila para petani di Birgham mulai menolak bekerja—hanya masalah waktu sebelum petani di wilayah lain Kekaisaran mengikuti jejak mereka. Mereka berniat menyerang politik dengan mengacaukan fondasi Kekaisaran. Kaisar yang tidak mampu mengatasi masalah tersebut tidaklah pantas disebut sebagai seorang pemimpin.

"Aku berpikir," mulai Kania, "untuk memberikan apa yang mereka inginkan."

Desas-desus meledak di antara para menteri. Seorang pria berusia empat puluh tahunan menyuarakan kecemasan mereka, "Dengan membawa putri Valentina sebagai pemimpin baru, Yang Mulia?"

"Tentu tidak. Itu hanya akan menunjukkan betapa lemahnya sang Kaisar." Kania melembaikan tangannya, "Berikan mereka subsidi pupuk. Membebaskan mereka dari kewajiban pajak selama sebulan? Dua bulan? Menciptakan kebijakan yang membuat mereka terikat dengan Kekaisaran, mengenai pendidikan anak-anak mereka, misalnya, atau jaminan kepada keluarga mereka. Tunjukkan kepada mereka bahwa tanpa Kaisar Marcellus mereka tidak akan memperoleh kesejahteraan yang sama. Tunjukkan kepada mereka bahwa Dyre, terutama dengan Kaisar Marcellus di takhta, tengah menuju kemakmuran yang tidak pernah mereka temukan sebelumnya."

KANIAWhere stories live. Discover now