41 - Katarina

615 145 37
                                    

41

Katarina mampu merasakan laju kapalnya melambat. Ia berdiri dari buku bacaannya, melintasi kamar menuju jendela kecil dekat ranjang. Mengintip dari tirai jendela, dunia yang sama sekali tidak dikenalnya terpampang megah dan berkilau di atas lautan. Pelabuhan yang sibuk, dipadati beragam orang dari beraneka budaya. Mereka dari tanah sultan Qyhar, kepulauan Prirac, bahkan Czian yang eksotis. Permata Benua Timur—Kekaisaran Dyre—pusat kehidupan Benua Timur.

Keluar kamar, ia menuju dek di mana Esther sedang menumpukan kedua siku pada susuran kapal, memandangi dengan kekaguman yang sama dunia asing itu. Serta, tidak lupa kastil yang masih mempertahakan kemegahannya kendati sebagian wajahnya hitam dan rusak oleh api. Seluruh pemandangan itu seperti jendela menuju dunia baru. Semilir angin baru, membawa perspektif lain baginya. Katarina heran; sebesar apa keberanian Kania hidup sendiri di ranah yang tidak dikenalnya. Kemudian—Katarina mengambil tempat di sisi Esther—jawaban itu datang secepat pertanyaannya tiba. Para Reyes dan keberanian mereka.

"Akhirnya kita tiba," mulai Esther yang lebih terdengar seperti gumamam terhadap dirinya sendiri.

Namun, gumaman itu nyatanya beresonansi lebih lama dalam diri Katarina. Akhirnya. Setelah prajurit Dyre itu—Thomas—mengungkapkan kebenaran kematian ayahnya dan, terlebih lagi, kondisi politik di Kekaisaran saat ini, Katarina tidak perlu berpikir dua kali meminta Caiden mengatur pelayaran ke Dyre. Tidak butuh lama mempersiapkannya, mengingat dengan pernikahan Kania, Dyre mengharapkan dukungan militer Reibeart menuju perang besar yang akan datang. Mereka berangkat, setiap wajah cemas akan perang. Dan bagi Katarina, ia juga tengah memerangi petarungan lainnya. Ia tahu hanya dirinya mampu menuntaskan perang yang satu ini.

"Berlayar sejauh ini aku tidak pernah berhenti memikirkan Nicholas," ujar Esther. "Bagaimana ia dapat memenuhi asupan sayurnya, misalnya. Nicholas selalu menyisikan sayurannya di pinggir piring."

Hati Katarina terenyuh. Seperti halnya Esther, Katarina tiada henti memikirkan putranya, meski Randolph dan Nicholas berada di tangan yang tepat. Kasih sayang ibu tidak mengenal batas, pikir Katarina. Ia jadi bertanya-tanya apakah selama ia tumbuh besar, ibu kandungnya—Putri Mahkota Valentina—sempat memikirkan putrinya di Reibeart. Rongga mulutnya berubah kelu seolah bisa ular melumpuhkan lidahnya.

"Aku yakin Bibi Kassia akan menjaga Nicholas dan Randolph sebaik mungkin. Jikalau pun tidak, Sienna akan selalu ada di sana untuk mereka. Sienna selalu menyukai anak-anak."

Esther menyeringai. "Kau benar."

"Ah, kalian di sini."

Katarina dan Esther serentak berbalik, mendapati Caiden, Raphael, serta Thalia turun dari ruang kendali kapal. Meletakkan satu tangan di alisnya, Thalia menyipitkan mata memandang jauh Kastil Dresden yang tengah diperbaiki.

"Kania tidak menulis tentang itu di suratnya," ujar Thalia. "Mengenai kebakaran."

Caiden menghela napasnya. "Apabila Kania mengabarimu tentang kebakaran itu, aku yakin Ibu akan cemas setengah mati."

"Tentu saja!" Thalia bersedekap. "Terakhir kali kuingat, dia putriku."

Raphael berujar, "Jika diamati, kebakaran belum terjadi terlalu lama, Ibu." Ketenangan yang dibutuhkan di tengah-tengah para Reyes. "Kalaupun Kania mengirim surat, surat itu tidak akan sampai ke tangan kita—"

Seruan dari kapal perang Reibeart yang mengantar pelayaran mereka mencuri perhatian Raphael. Pria itu menoleh ke sumber suara, mendapati Tristan Schiffer—ayahnya—mengirimkan isyarat dengan gestur tangannya. Hanya dimengerti Raphael seorang.

KANIAWhere stories live. Discover now