59 - Kania

651 148 30
                                    

59 

Dengan lemparan belatinya, Kania berhasil memperoleh perhatian siapapun dalam sudut pandangnya. Mereka berubah gempar menyaksikan mayat-mayat prajurit itu bangkit seolah diberikan embusan napas kedua. Sang Malaikat memalingkan kepalanya menghadap Kania, kegirangan raib dari wajahnya. Tangan kanannya seolah beku oleh tancapan belati hitam Kania, darah keperakan menetes mencucup tanah. Pasukan malaikat kecilnya mengambang di udara, berparas hitam tanpa wajah, tetapi, Kania mampu membayangkan keterkejutan mereka.

Kania juga nyaris tidak memercayai perluasan dari kekuatannya. Masa belajarnya dengan Ignatius tidak mengungkapkan segala yang mampu dilakukannya. Namun kemudian, ketika Kania terempas jatuh ke tumpukan mayat, ide gila merasuki benaknya. Kau dapat mengendalikan. Kau dapat menciptakan. Kania tidak pernah menyangka akan datang saatnya ia mengenang Ignatius penuh syukur. Dengung suara pendeta tua itu menuntunnya, membangkitkan pintu lain dari Zahlnya.

Ia bagai menjahit gaya baru dari benang-benang sisa kehidupan semua prajurit pemberani itu. Dan Kania adalah pengendali mereka, dalang dari harapan terakhir mereka. Tali kehidupan yang berpusat pada kesepuluh jarinya. Kania menenun benang lebih banyak, lebih rumit lagi, dan gelombang lain mayat bangkit dari tanah. Mengepung pertarungan dari keempat penjuru mata angin.

Apabila sang Malaikat menciptakan pasukan berani mati—Kania adalah nemesisnya, membangkitkan prajurit-prajurit yang tidak akan mati. Sang Malaikat membesarkan matanya, bibirnya gemetar oleh kemurkaan. Baru kali itu Kania melihat betapa rapuh bentangan sayap yang diagung-agungkannya. Sebelum sang Malaikat mengeluarkan ucapnya, Kania berbisik kepada pasukannya, "Maju."

Pasukan mayatnya melesat, secepat skenario di kepala Kania, menumbangkan satu per satu malaikat kecil. Ia turut maju, sebab tujuannya berada di seberang lapangan; sang Malaikat. Kania akan membawa pasukan kematian mengubur kembali tubuhnya ke antah berantah, bagaimanapun caranya. Penglihatannya menangkap betapa pantang menyerah Reagan, bangkit menyerang prajurit boneka Waisenburg, merampas senjatanya dan melejit, mengayunkan serangan demi serangan mematikan ke leher para malaikat kecil, juga mengusahakan jalannya menuju sang Malaikat.

Lawannya maju serentak, kedua pihak itu berjumpa kembali dengan sebuah hantaman. Tetapi, kali ini, para Reibeart memulai senandung peperangan mereka. Himne kemenangan Reibeart, lagu yang dinyanyikan menyambut kepulangan prajurit ke tanah Reibeart. Semangat yang tiada pudar sekalipun darah-darah saudara mereka bertumpahan. Sebab, mereka tahu bahwa Kania di sisi mereka, membawa harapan mungil akan kemenangan.

Bertarunglah, pinta Kania dalam hati, bertarunglah. Dan Kania menciptakan ribuan pedang hitam bagi setiap nyawa yang nyaris putus asa menghadapi kekuatan masif sang Malaikat. Tanpa berpikir dua kali, mereka meraih pedang-pedang itu, menyerbu maju bersamaan. Para Usha, membunyikan siul dan memberi kode kepada kawan mereka. Pasukan Albatross dengan semangat mematikan kedua pemimpin mereka. Sementara itu para Dyre berseru dan bersorak dan menjeritkan setiap percikan terakhir dari gelora hati mereka.

Kania membentangkan tangannya, dengan cepat menghujani gelombang malaikat kecil di hadapannya dengan belati-belati hitam. Entah dari mana ia memperoleh refleksnya, Kania menghindar dari serangan prajurit Waisenburg. Sebuah bisikan tiba-tiba merasukinya. Suara lembut yang Kania kenal. Suara ibu datang bersama Zahl wanita itu di dalam tubuh Kania, membisikkan seni yang mematikan. Tangannya cepat membentuk manuver memotong, menciptakan segaris ungu gelap dari kekuatannya, sewujud bumerang. Menebas kepala demi kepala musuh di hadapannya.

Kedua mata Kania nanar memandangi telapak tangannya sebelum mengepal. Kania kembali memaku tatapannya pada sosok sang Malaikat, mengayunkan pedang tidak ubahnya makhluk fana. Ia dapat melakukannya. Ia tahu ia dapat melakukannya.

KANIAWhere stories live. Discover now