56 - Daria

557 138 33
                                    

56

Daria menghirup udara dalam-dalam. Tulang rusuknya meregang, membiarkan paru-parunya mengembang. Oksigen berputar dalam tubuhnya, mengempaskan ragam pemikiran yang kerap memadati benaknya. Hanya di saat-saat tertentu—membidik sebuah target, misalnya—mulutnya berhenti bicara dan fokus tajam mengambil alih kepalanya. Pendengarannya berubah tenang. Tiada lagi kerasak pepohonan hutan Usha di belakang punggungnya. Ataupun dengung resah puluhan batalion di hadapannya. Dengan gesekan telunjuk pada ekor anak panah, merah Zahl lekas menyelimutinya. Targetnya satu: dua prajurit Waisen yang menyeret Kania.

Bersamaan dengan embusan napasnya, ia membebaskan panah dari senar. Ujung tajamnya menancap jantung pria yang membawa Cincin Dyre. Hamparan sekutu Waisenburg mulai mengarahkan perhatiannya kepada Daria, tetapi jemari Daria lebih cepat melesatkan satu lagi anak panah. Menumbangkan prajurit Waisen lainnya. Terompet perang Waisenburg berkumandang. Kelontang pedang ribuan prajurit berseteru dengan udara. Para Usha mulai melempar sinyal dari satu batang pohon ke yang lainnya.

Kemudian, perang pecah.

Daria mempertahankan posisinya, menyandarkan punggung pada batang pohon sembari memindai para pemanah Usha mengeratkan busur, mengarahkannya ke udara. Di bawah komando Kaya, Kepala Suku Usha, serentak mereka membebaskan hujan anak panah yang mewarnai langit kelabu hari itu dengan merah Zahl. Menyasar bagian vital anggota tubuh para prajurit Waisenburg, merobohkan pertahanan garda depan mereka. Ketika Kaya mempersiapkan tarikan busur kedua, Damien menggenggam pedang di samping Daria, mengangguk penuh arti. Daria memiliki misi tersendiri di perang ini.

Berputar, Daria merapatkan sebagian besar tubuhnya pada pohon, menemukan pasukan penembak jitu yang berbaris rapi di atas armada Waisenburg. Mereka tampak tidak menyadari keberadaan Daria. Tentu—dalam jarak lebar di antara mereka, dibutuhkan usaha lebih menemukan Daria di antara pepohonan. Keuntungannya. Daria segera melepaskan panah demi panah, tiada yang mengantisipasi laju anak panahnya menancap langsung ke kepala atau jantung kawan mereka.

Para penembak jitu berubah keteteran. Sebelum mereka sempat berlindung ke bilik terdekat, Daria kembali melesatkan serangan. Menumbangkan tiga lagi penembak. Namun, kini, lawannya mengetahui posisinya. Sementara rentetan desing peluru itu mengincar batang pohonnya, Daria menghitung dalam hati. Menenangkan adrenalin yang memuncak. Bukan saatnya bertindak sembrono.

"Ambil ini," Damien muncul di sisinya. Di genggamannya adalah senapan laras panjang produksi Fhraeron. Pria itu merebutnya dari pertarungan di bawah. Daria menghela lega. Akhirnya.

Mengukur berat senapan itu di tangan, Daria lekas memberikan perlawanan kepada penembak jitu di seberang medan. Satu, dua, tiga kepala, lalu menyasar bahan peledak mereka. Dentuman mengakibatkan pecahnya ketenangan permukaan laut. Api menyebar cepat dan badan kapal itu menabrak kapal lainnya, domino kehancuran yang tidak terelakkan. Prajurit-prajurit melompat ke lautan, menyelamatkan nyawa mereka. Satu misinya selesai.

"Daria!" seru Damien.

Di bawah alih refleks dan pengalamannya, Daria melakukan manuver beprutar, menghantam rahang prajurit Waisenburg di balik punggungnya. Hantaman yang sedikit terlalu keras, Daria mampu melihat dua giginya melayang. Namun, Daria tidak berhenti sampai di sana. Ia mengayunkan bagian belakang senapan tepat ke ulu hatinya. Prajurit itu terjengkang sebelum ambruk ke tanah basah hutan.

Pandangan Daria mengelilingi hijau hutan. Pasukan lain Waisenburg datang menyerbu dari sisi lain pulau, mengeroyok mereka dari dua sisi. Dari tubuh prajurit yang baru berdatangan menguar aura kemerahan serupa miliknya. Kesadaran itu meletupkan amarah Daria, membayangkan wajah para tawanan yang dikurung dan dijadikan bahan percobaan. Prajurit-prajurit buatan Waisenburg.

KANIAWhere stories live. Discover now