45 - Kania [21+]

1.4K 135 34
                                    

45

Kania tidak dapat berhenti tertawa. Perutnya terus dikocok oleh kenyataan bahwa mereka harus kembali mengendap-endap ke kastil. Mereka bagai dua anak nakal, bersembunyi di kegelapan sembari mencuri kecup. Hingga tidak sengaja seorang kepala pelayan mengira mereka sebagai sepasang pelayan yang tengah bercumbu di tengah keremangan. Diteriaki dan dikejar—tetapi, tidak ada yang mengenal pintu rahasia kastil seperti Kania. Tanpa melepaskan genggaman mereka, Kania menuntun jalan menuju kamar Reagan.

Reagan menutup pintu kamar sementara Kania melingkarkan lengan di seputar lehernya, berusaha memperoleh kecupan lain. Pria itu mendesak punggung Kania ke daun pintu, benturannya memberikan sensasi nikmat yang tidak dirinya sangka. Kedua tangan Reagan menangkup wajah Kania, merapatkan dahi mereka. Ibu jarinya menggesek lembap bibir Kania, menekan hingga mulutnya setengah membuka, mempersiapkan Kania untuk ciumannya. Hawa napas Kania menerpa bibir Reagan yang menggantung terbuka di hadapannya, sementara pria itu menyiksanya dengan tatapan berkabut.

"Nakal," ucap Reagan di ambang bibir Kania, lebih terdengar seperti embusan napas kasar. "Bagaimana jika kepala pelayan itu melihat kita?"

Seringai mengembang di wajah Kania. Sentuhannya turun dari kedua bahu Reagan, "Aku tahu," meraba tubuh keras pria itu dari balik pakaiannya, "kau bahkan akan memujaku di hadapan para iblis sekalipun." Berhenti, mengaitkan jari pada pinggiran celananya. Mulai membuka kancing seragamnya, satu per satu.

"Hmm." Reagan menghisap bibirnya. "Aku akan membuat mereka begitu cemburu dan iri dan malu." Ia menangkup bokong Kania, menekankan betapa keras Reagan membutuhkannya. Erangan lolos dari mulut Kania.

"Mereka akan iri mengetahui betapa manis eranganmu, betapa kau mencintai sentuhanku," Reagan menggoyangkan pinggul beradu dengan miliknya dan Kania tidak mampu mendustai satu lagi erangan. Kancing terakhir pakaiannya berhasil Kania amankan. Pria itu melempar bajunya ke kegelapan kamar.

Hangat tubuh pria itu menekan Kania di permukaan pintu. "Katakan kau menginginkannya," bibir Reagan berjarak satu napas dari telinganya. Melarikan satu belaian lidah sepanjang pinggiran daun telinganya sembari pinggulnya terus menggesek dan menggoda selangkangan Kania. Sebelah tangannya mencengkeram rahang Kania, "Katakan."

Ia basah dan panas. "Aku menginginkannya," punggung Kania membusur. Ia mampu merasakan dari balik gaun, puncak payudaranya mengeras dan beradu dengan dada bidangnya.

Tapi, jawaban itu tidak berhasil memuaskan Reagan. Sang Kaisar selalu menginginkan yang terbaik. "Apa yang kau inginkan?" Pinggul pria itu tidak berhenti mendesak miliknya. "Katakan."

Kania memejamkan mata putus asa. Ia menggigit bibirnya dan dari celah kecil itu ia berkata, "Bercintalah denganku."

Ketika Kania kira pria itu akan membawanya ke ranjang, ia mundur beberapa langkah membiarkan angin dingin mengisi antara mereka. Reagan menuntun Kania melintasi ruangan, ke hadapan sebuah cermin setinggi lemari pakaian, bingkai peraknya menyentuh karpet biru gelap kamar. Cermin kokoh yang memantulkan betapa kacau penampilan Kania di bawah terpaan lilin.

Helai hitam rambutnya acak-acakan, beberapa membingkai liar wajah dan lehernya. Lapisan yang menutupi dadanya kini menggantung pasrah seakan satu sentakan lembut mampu meluruhkan segala kesopanan dari tubuhnya. Belahan roknya menampakkan paha di mana belati itu masih terikat sempurna, melekat berdampingan dengan bekas kemerahan yang ditinggalkan Reagan. Di atas segalanya, tidak pernah Kania menatap langsung wanita penuh gairah di cermin itu. Bibirnya bengkak oleh uluman Reagan. Manik keemasannya meleleh dan menghangatkan Kania tidak ubahnya cairan wiski.

KANIAWhere stories live. Discover now