57 - Kania

562 139 37
                                    

57 

Sang Malaikat makhluk yang picik; itu hal pertama terlintas di benak Kania. Tentu saja—dari apa yang Kania pelajari tentangnya, sang Malaikat adalah prajurit istimewa ciptaan dewa-dewi. Terbaik dari antara jajaran tertinggi malaikat, terpintar dan terkuat. Tidak ayal sesosok sepertinya memiliki ambisi berbahaya menghancurkan tatanan khayangan. Sebab, untuk meruntuhkan singgasana dewa-dewi tidak hanya memerlukan kepintaran, tetapi juga kelicikan.

Pengalaman sang Malaikat beratus tahun menggoda manusia untuk membebaskannya terbukti sebagai senjata ampuh. Hanya dengan sekilas lihat, sekejap pandang, sang Malaikat tahu titik lemah umat manusia. Seakan-akan sang Malaikat menggenggam kelemahan, kesedihan, dan harapan setiap nyawa di medan pertempuran itu. Mewujud sebagai sosok berbeda bagi tiap manusia yang menatapnya. Tiada kata yang lebih sempurna dari satu ini: kejam.

Kania tidak mampu mengelak dari keterkejutan kala sang Malaikat bangkit, tercipta dari ketiadaan tidak ubahnya menyaksikan ledakan, namun kali itu waktu berputar terbalik. Rambut cokelat gelap sewarna milik Caiden dan Daria, bias cahaya memberikan sentuhan karamel cair. Manik biru kelabu seiras milik keempat saudaranya. Bahu lebar nan kokoh, mengangkat Kania tinggi ke angkasa. Ayah. Ayahnya mewujud di hadapan Kania.

Decit pedih di hati Kania menyadarkannya bahwa itu semua ilusi. Sang Malaikat mendistorsi kenyataannya. Ayah telah tiada, ingat Kania sekali lagi. Di Cardinia. Di tangan William Waisenburg. Kania memejamkan matanya erat-erat, berupaya menghapus pergi wajah Ayah dari benak. Perlahan ia mengangkat kelopak matanya, kembali menemui wajah Ayah yang dikenakan sang Malaikat—namun kali ini, keraguan di dalam diri Kania sirna.

Ia tahu lebih baik. Ini apa yang dipersiapkan Ignatius. Benaknya tidak boleh lengah. Ia harus menggembok hasrat dan emosinya—kunci untuk mengendalikan kekuatannya. Di hadapannya bukan Ayah bangun dari reruntuhan Cardinia, melainkan musuh yang harus Kania lenyapkan.

Namun kemudian, otot tubuh Reagan menegang di bawah sentuhan Kania. Bertanya-tanya siapa yang pria itu lihat. Kesabaran Reagan seakan meletup, menusuk-nusuk permukaan kulitnya tidak ubahnya tombak beracun. Kania melihat benci dan dendam berkelebat di manik kelabunya. Giginya mengerat, satu pembuluh di lehernya menonjol oleh amarahnya. Kania mendapati raut puas di wajah sang Malaikat. Kedut di bibirnya, bagaimana ia sangat menikmati menginjak-injak emosi manusia.

Reagan mungkin tidak menyadarinya, namun kesedihan sulit disembunyikan dari raut wajahnya ketika menyaksikan darah Ragnar tumpah. Tubuh serta tulangnya mendebu, sementara bibirnya membentuk bisikan terakhir sebelum kematian merenggutnya. Selama ini, Reagan, aku tidak pernah meninggalkanmu, ujar Ragnar lirih di antara telapak tangan Reagan. Tanpa satu pun ucap, Reagan menunjukkan lebih banyak kelemahan dari yang Kania kenali dua tahun terakhir.

"Valentina," nama itu terembus dari antara bibir Reagan. Kania menegang. Dari semua orang, mengapa wanita itu? Kania mengeratkan genggamannya pada lengan Reagan. Berhati-hati apabila pria itu mencoba merangsek maju.

Detik itu pula Kania menyadari bagaimana pertarungan menjeda. Tiada lawan atau kawan, tiada juga pergerakan dari boneka-boneka William yang kehilangan majikan. Hening menyapu ribuan manusia di pulau itu, menghipnotis setiap makhluk hidup memusatkan perhatian pada sang Malaikat. Beberapa kelontang pedang terselip keluar dari genggaman pemiliknya, terserap oleh kehadiran Malakha. Tetapi, perhatian sang Malaikat hanya tertuju pada Reagan. Ketertarikan yang mustahil disembunyikan dari kilat matanya.

"Apa kau merindukanku, Reagan sayang?"

Bahaya. Kania menahan Reagan di tempat, mengelus lengan pria itu. Tatapan sangar Reagan beralih ke Kania. Dari geligi putihnya, ia mendesis, "Tidakkah kau melihatnya?" Reagan menunjuk sang Malaikat. "Wanita itu bertanggung jawab atas kehidupanku dan Ragnar. Aku akan memastikannya mati—"

KANIAWhere stories live. Discover now