53 - Kania

604 148 50
                                    

53

"Kania."

Panggilan itu menghajar Kania bangun. Udara yang sarat oleh bau besi darah menyerbu masuk paru-parunya. Kania bangkit, mendapati dirinya duduk di atas salah satu ranjang barak medis. Di sekitarnya adalah kekacauan. Tungkai yang buntung, kulit terbakar dan meleleh, prajurit-prajurit dengan sebelah mata cacat, serta wajah pucat kehilangan terlampau banyak darah. Seminggu lamanya, kesadaran Kania seperti jendela buram oleh hawa musim dingin. Dan kini, ia tidak menyangka bangunnya disambut pemandangan penuh siksa.

Esther di sampingnya, tangannya penuh darah. Usai menjahit luka, mungkin? "Kau bangun," tangannya terangkat membekap mulutnya. Ia dibanjiri rasa syukur tiada kira.

Kania memeluk tubuh ramping kakaknya. Merasakan bagaimana keberanian seekor singa mengendap di tubuh sekecil itu—

"Segera lakukan evakuasi!" seru seseorang di ambang pintu barak, tidak repot-repot menyembunyikan bahaya yang diemban suaranya. "Prajurit-prajurit Waisenburg itu kini membabi buta menyerang siapapun tidak melihat—"

Seketika, orang itu jatuh terkapar digorok oleh prajurit yang disebut. Mengundang simfoni kesiap takut dari seluruh tenaga medis di dalam barak. Dari belati di genggaman prajurit itu, Kania mampu melihat Zahl kemerahan yang serupa milik Reagan membungkus tangannya. Hasil ciptaan William Waisenburg. Prajurit-prajurit dengan Zahl artifisial.

Tatapan kosong prajurit itu memindai kepala demi kepala, menghitung target di dalam barak. Prajurit biasa beritikad baik akan menghindari menyerang mereka yang terluka parah, menetapkan barak medis sebagai ranah netral. Namun, prajurit di hadapannya seakan mengabaikan fakta bahwa menurut hukum perang, ia tidak diperkenankan untuk menyerang. Ia menggenggam belati di tangannya semakin erat, melangkah—tidak, melesat—ke salah satu ranjang terdekat. Mata manusia biasa tidak akan kuasa mengikuti pergerakannya. Namun, tidak bagi Kania.

Sebelum ia mengayunkan belatinya, Kania segera memberhentikan laju pergerakannya. Kania seakan mampu merasakan denyut nadi dan jaringan rumit syarafnya di dalam genggaman. Prajurit itu menoleh ke arahnya, menyadari ia tidak dapat mengangkat barang satu jari pun, tanpa mengetahui bahwa kematiannya akan datang dalam hitungan detik. Kania memanggil belati hitam dari antah berantah, menembus langsung jantungnya.

Belati di genggaman prajurit itu jatuh. Kelontangnya lembut menabrak tanah, diikuti ambruk tubuhnya. Seperti denting yang membangunkan seisi barak dari kutukan sihir. Pandangan setiap jiwa di barak perlahan beralih ke arahnya. Kania tidak mampu menebak apa yang berkelebat di balik puluhan mata yang membesar. Keterkjutan, takjub, heran, ketiganya sekaligus. Satu yang pasti: Kania tidak memperbolehkan dirinya berdiam lebih lama di barak. Selama ia mampu berdiri, ia akan mengerahkan segala usaha menuntaskan peperangan ini.

Tangan Kania meraih kedua pundak Esther. "Tetap di sini. Aku akan menghalau siapapun yang berusaha masuk."

"Tunggu." Esther menahan pergerakannya. Setelah pertunjukan singkat Kania, Esther tidak repot-repot menutupi api biru yang menyelimuti telapak tangannya. Kakaknya melarikan sentuhan ke pipi Kania—membuang apa yang tampak seperti esensi terakhir bius ke tanah. Kania mampu merasakan ketajaman otak dan indranya. Zahl Penyembuhan. Kania mengerutkan alisnya dalam ribuan pertanyaan, mengerjapkan mata untuk memastikan bahwa pandangannya benar. Selama ini, ia pikir ia seorang diri—

Namun, Esther membawa telunjuknya ke depan bibir. "Ini untuk cerita lain kali." Kemudian, mendorong Kania pergi ke arah peperangan. Bahkan Esther tahu mereka membutuhkan setiap petarung yang ada. Prajurit Waisen dengan Zahl adalah mimpi terburuk mereka.

KANIAWhere stories live. Discover now