16 - Kania

823 174 43
                                    

16

"Tidurlah." Reagan melepaskan genggamannya pada tangan Kania. Tungkai panjangnya mengambil beberapa langkah mundur, membiarkan jarak bagi gigil angin malam mengalir di antara mereka. Serta, jarak lain tidak kasat mata yang menjauhkan Kania dari siapa sesungguhnya ia. Membalikkan badan, Reagan menghampiri jendela yang membingkai hangat cahaya kehidupan di ibukota, beradu keemasan dengan hamparan langit hitam biru. Angkasa tampak cerah tanpa satupun awan kelabu menggantung. Gugusan bintang kerlap-kerlip, seolah memamerkan keindahannya di detak detik sebelum meledak.

"Tidurlah," pinta Reagan sekali lagi tanpa menoleh ke arah Kania. Sinar bulan menyapu kepalanya, menjadikan helai pirangnya berkilau lembut. Kedua bahu lebar yang tampak kokoh beberapa waktu lalu, seakan memudar bersama langit malam. Membawa kisah-kisah yang sukar dituang lidah, namun penuh makna dalam hening sederhana. Pria itu menyelipkan kedua tangan ke saku celananya, memandangi bentangan kota dan, lebih jauh lagi, ke cakrawala. Di mana biru gelap membaur menghitam, dunia yang selalu malam—tempat para jiwa tersesat yang menunggu sentuhan mentari membinasakan segala kelam.

Harapan kecil Kania bertanya-tanya, sebelum menutup pintu ruang kerja, mungkinkah detik itu Reagan tengah menjelajah, mencari separuh dirinya yang hilang?


***


Untuk ukuran seseorang yang benaknya berseliweran pelbagai pemikiran, malam itu Kania tidur nyenyak. Walaupun tidak mengingat sebagian besar mimpinya, Kania mengenali wajah-wajah yang bertandang. Ayah dan Ibu berusia jauh lebih muda dari memori terakhirnya, selamanya sepasang remaja tanpa prasangka buruk terhadap kejutan masa depan. Duduk di atas permadani rumput, dedaunan pohon penuh belas kasih menghalau terik cahaya matahari. Dikelilingi segenap keluarganya; Caiden, Katarina, Petra, Daria, Esther, dan Raphael. Tertawa dan berbagi cerita, sementara Randolph yang baru belajar cara berjalan, mengejar lari gesit Nicholas.

Di sisi pohon lainnya, Reagan berdiri. Kania mendekat, menjulurkan tangan menyentuh pundak Reagan. Kania mampu merasakan bibirnya bergerak membentuk kata-kata, namun mimpi itu bagai drama tanpa suara. Reagan membalasnya, membunyikan gerak-gerik sunyi yang sama—dan sampai di sana ia mengingat mimpinya.

Kania membuka matanya menuju kesadaran. Ia mendapati lukisan tiga bayi malaikat bertubuh gempal meniupkan terompet pada langit-langit kamarnya, lalu menghirup semua udara yang ditelan angan-angannya. Duduk bersandar, jemari Kania berlari sepanjang permukaan bibirnya. Mengenang keras uluman bibir Reagan pada bibirnya. Bagaimana pria itu selalu menjadi anomali dalam kehidupannya dan kini tidak henti memutar balikkan realitanya. Memerahkan bibir Kania dengan setiap kecupan serta belaian lidahnya.

Semalam adalah pengalaman yang, mungkin, tidak akan ia lupakan seumur hidupnya. Ia mengakui, mendengar kisah yang dilontarkan orang-orang di sekitarnya (Daria, terutama, sebab Esther terlampau tertutup untuk mengumbar sisi hidupnya satu itu) tidak sepadan dengan kenyataan sesungguhnya. Daria tidak memperingatinya akan bara api tersembunyi dalam tubuh Kania. Bara api begitu purba, disulut gesekan pakaian mereka serta tangan yang merengkuh satu sama lainnya, menelan dua kehadiran ke kobaran api tersebut.

Sebelum membunuhnya, seharusnya kubuat ia menelan isi perutnya sendiri. Tidak ada yang selamat setelah melukai dirimu, suara berat Reagan, sarat akan kebrutalan dan murni ancaman menyentak pikirannya.

Baru detik itu, Kania menyadari kamar redupnya. Jam dinding menunjuk pukul sebelas siang—dua jam lebih lambat dari jadwalnya bangun. Setiap pagi, ia akan terbangun oleh sibakan tirai serta keratak tangan Tonya menyeduhkan teh kesukaannya. Sosok tinggi wanita itu akan membungkuk, menuntunnya menuju bak mandi. Menggosok kulitnya dengan garam dan mawar hingga sisa kelelahan semalam tiada tersisa. Membantunya mengenakan pakaian yang mana kerap kali Kania bantah. Ayah dan Ibu menuntut kelima anaknya memakai baju seorang diri, pelajaran yang sama pentingnya seperti berdansa, berpedang, serta etika.

KANIAWhere stories live. Discover now