30 - Reagan / Kania

645 162 24
                                    

30 

Reagan memberhentikan laju kudanya beberapa langkah dari kerumunan penduduk ibukota yang memadati bagian depan benteng Kastil Dresden. Asap kelabu mengepul bersanding dengan langit biru gelap membawa aroma-aroma yang tidak mungkin Reagan salah kira. Debu pilar dan tubuh manusia. Dentang lonceng berbunyi nyaring dari sisi kastil lainnya, prajurit merah-hitam berbondong-bondong membawa air, berupaya memadamkan kebakaran di sayap tempat Kania tertidur. Damai dan tentram.

Genggaman Reagan mengerat pada tali kekang bersamaan dengan datangnya ombak tinggi bernama amarah. Ia kemudian memacu kudanya ke belakang kastil, melalui huru-hara prajurit mengevakuasi para penghuni kastil. Jika ada satu kemungkinan Kania hidup, maka wanita itu seharusnya berada di antara pengungsi. Namun, bahkan dari pelana kudanya, pandangan Reagan tidak mampu menemukan kehadiran wanita itu dari lautan manusia di hadapannya. Hanya ada wajah-wajah ketakutan, sedih, dan penuh keringat. Tapi, tidak ada Kania.

Ia menemukan Dorian berdiri menenangkan Tonya di ujung lautan. Reagan turun dari kudanya, para pengungsi menyadari kehadirannya atau, mungkin, amukan langkahnya. Membelah dua, membentuk jalur dengan segera tanpa perintah. Dari ujung matanya, Dorian menyadari kehadiran Reagan. Ia dan Tonya membungkuk, baru saja hendak mengucap salam kala Reagan mencengkeram kerah Dorian. Dengan mudah, membawa kakinya mengambang beberapa senti dari tanah. Seluruh mata yang menyaksikan mengerjap, membelalak tidak percaya.

"Di mana," tanya Reagan, bahkan tidak mengenali suara yang keluar dari tenggorokannya, "Kania?"

"Yang Mulia." Suara sejuk Ajax muncul dari balik punggungnya. "Anda menarik perhatian."

Kania berhak atas semua perhatian itu, pikir Reagan. Kania berhak akan kehidupan tanpa bahaya, bebas mengelilingi Kekaisaran dengan kedua kakinya. Tetapi, bahkan semenjak kedatangannya, tidak satupun janjinya berhasil ia genapi. Dan kini, mungkin, segalanya telah terlambat. Reagan menurunkan Dorian.

Jika pria itu gentar, Dorian tidak menunjukkannya. Kendati abu mengotori pipinya, Dorian menyejajarkan pandangannya pada milik Reagan, mengingatkannya pada masa kecil mereka. "Mereka membakar kamar sang Ratu, Yang Mulia. Saya sudah mengirimkan dua pasukan prajurit untuk menjemput sang Ratu. Namun, keduanya tidak kembali."

Bangunan terbakar menjadi medan berbahaya bagi sebagian besar orang. Jika bukan pilar dan langit-langit roboh, mereka dapat dipastikan sesak oleh asap. Tapi—Reagan memutar badannya memandangi kastil di kejauhan, bergelora merah di langit malam—ada satu keyakinan dalam dirinya. Di dalam sana, di antara puing kehancuran, masih ada harapan bagi Kania. Mereka menginginkan cincin dan takhtanya. Mustahil mereka membunuh Kania sebelum memperoleh yang diinginkan.

Reagan melepas jubahnya, menyampirkannya kepada Dorian. Ia mulai menyiapkan dirinya, melengkapi setiap sudut kosong tubuhnya dengan senjata yang ditawarkan Ajax. Dengan denting terakhir pedang masuk ke sarung di balik punggungnya, tatapan Reagan sekelam malam. Tidak ada satu orang pun hidup menyentuh miliknya. Tidak.

"Ajax, bawa pasukanmu mengamankan sayap kiri," kemurkaan menggaruk-garuk tenggorokannya. "Kepung mereka dari luar. Jangan biarkan satupun serangga kabur dari pengamatanmu."

Kontras dengan persetujuan tentram Ajax, Dorian mengerjapkan matanya. "Yang Mulia!" serunya. "Apa yang hendak Anda lakukan? Anda tidak tahu apa yang mereka persiapkan di dalam sana!"

Apabila mereka bermaksud mengumpannya masuk ke dalam perangkap mereka, Reagan akan dengan sukarela memijakkan kaki. Momentum paling tepat mengakhiri gejolak di dalam Kekaisaran, satu untuk selamanya. Memastikan tidak satu pun dari mereka hidup, memporak-porandakan perangkap mereka, langsung dari dalam. Setelah sampai sejauh ini—Reagan tidak akan mundur.

KANIADove le storie prendono vita. Scoprilo ora