7 - Kania

692 183 38
                                    

7

"Kau tidak akan menikahinya," ujar Ibu bolak-balik mengitari perpustakaan pribadi Caiden seolah ia mampu menemukan solusi lain di balik deretan buku ataupun ujung usang karpet. "Kau tidak akan menikahinya," ulang Ibu sekali lagi dan itu adalah tepat apa yang dikatakannya sepanjang hari mengekori Caiden menemani Dorian berkeliling kastil selayaknya tuan rumah yang baik. Bahkan saat menjamu prajurit-prajurit Dyre di aula utama, Ibu tidak repot-repot memelankan suaranya saat menyuarakan pendapatnya.

Kania, duduk di sofa cukup lelah mengikuti langkah mondar-mandir ibunya, akhirnya mengangkat kedua bahunya, "Di luar aksennya, Dorian tidak tampak buruk." Kania mendapati Katarina yang duduk di seberangnya menyeringai, cahaya jingga lilin membasuh lembut senyumannya.

Langkah Ibu terhenti, berkacak pinggang sambil memandangi Kania seakan-akan ia tidak lebih dari tujuh tahun dan baru saja memecahkan vas bunga berharganya. Kania membesarkan mata, menampakkan ekspresi paling polos yang dapat wajahnya kenakan.

"Tanya Caiden. Ia tampak sangat menikmati perbincangannya dengan Dorian."

Ibu seketika menggeser pandangannya pada Caiden yang jelas tengah mencurahkan seluruh perhatiannya pada lelap wajah Randolph dalam dekapan Katarina. Terkejut oleh sorot tuduhan itu, Caiden mengangkat maniknya menemui milik Ibu. "Secara objektif, Ibu, Dorian bukan pria yang buruk. Kami memiliki banyak kesamaan di luar negoisasi yang ia ajukan. Dia juga pintar, bijak bahkan, memberikan pertimbangan mengenai masalah gagal panen."

"Dengar, Ibu? Dorian tidak buruk," ujar Kania, segera memperoleh perhatian ibunya kembali.

"Tetapi, kau tidak akan menikahinya Kania. Kau akan menikahi sang Kaisar dan itu perkara yang sama sekali berbeda," Ibu mengerang jengkel, mulai berjalan mengitari perpustakaan.

"Apa beda pernikahan ini dengan pernikahan lain untuk menyatukan dua negara?" Kania membalikkan badan menghadap ibunya.

"Bedanya, Kania," Caiden menyilangkan kakinya, "mereka bangsa Dyre."

"Diskriminasi macam apa itu?"

Belum sampai satu putaran mengelilingi ruangan, Ibu menghampirinya dan bersedekap. Kania menengadahkan kepala, menemui paras Ibu yang seiras miliknya. Ibu menghela napas, mengemukakan kegusarannya. "Mereka memiliki kebudayaan yang sama sekali berbeda dengan Benua Tengah. Mereka tidak beradab, kasar, bahkan menganut paham poligami. Kaisar sebelumnya mempersunting tujuh istri dan tiga belas selir. Apa yang menjadi jaminan bahwa kaisar ini berbeda? Kaisar satu ini disebut-sebut sebagai Kaisar Iblis, Kania." Ibu mendengus.

"Tidak ada. Tetapi, aku dapat menjadi jaminan supaya Reibeart—"

Caiden tajam memotong kalimatnya, "Kau bukan barang dagang. Aku tidak akan pernah menyerahkanmu kepada pria yang tidak akan menghargaimu."

Kania hendak membuka mulutnya, namun Ibu menyelanya, "Kau tidak akan bahagia di tanah asing itu, Kania. Begitu sang Kaisar bosan denganmu, ia akan mencari wanita lainnya, dan hidupmu tak ubahnya seorang selir. Pajangan, untuk yang satu itu dan kau akan menghabiskan sisa hidupmu tanpa makna."

"Jika aku dapat berbuat satu hal untuk keluargaku, kerajaan ini—" Kania bangkit dari duduknya, "—apa jadinya hidupku kelak bukan lagi masalah."

"Ibu, sayangnya," sebelah tangan Ibu menangkup pipinya, "tidak dapat membiarkan itu terjadi. Itu bukan tanggung jawabmu."

"Sampai kapan kau akan membiarkan aku sebagai tanggung jawab orang lain? Sebagai tanggung jawab Ibu dan kakak-kakakku?" Kania mengalihkan pandangannya dari tatapan Ibu. "Aku mungkin tidak selamanya tahu apa yang baik dan benar bagi kebahagiaanku, tetapi tidak juga Ibu. Tidak ada yang tahu."

KANIANơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ