13 - Kania

754 188 28
                                    

13

Kania menyadari selama tiga hari terakhir bahwa berusaha menemukan sang Kaisar bagai berjalan di kegelapan mencari bayangannya sendiri. Entah apa yang Ajax laporkan kepada Dorian setelah pertemuan mereka, keesokan harinya Dorian menyibukkan dirinya dengan berbagai hal memungkinkan hingga ia terlampau lelah untuk memikirkan di mana sang Kaisar berada. Ia bahkan kerap tertidur di bak mandi, dibangunkan oleh tepukan ringan Tonya.

Hari pertama, Dorian mendatangkan perancang busana ternama di Kekaisaran, seorang pria jangkung berkumis melengkung yang tidak pernah tahu kapan menutup mulutnya. Ia menghabiskan sore dan malamnya terpaksa meladeni pria itu, memilih dari puluhan kain untuk gaun pernikahannya, ratusan lainnya untuk gaun sehari-harinya. Menurut pria itu, seorang ratu tidak boleh mengenakan satu gaun lebih dari sekali karena akan menunjukkan kelemahan perekonomian kerajaan. Seorang ratu, katanya, harus menunjukkan kemewahan dan kekayaan keluarga kekaisaran, sebagaimana selir-selir dan ratu terdahulu memiliki tiga ratus enam puluh gaun berbeda untuk setiap hari dalam setahun.

Kania memutar bola matanya mendengar racauan pria itu—Lovett namanya—sembari menolak rancangan gaun ketujuh puluh yang ditawarkannya. Ia ingat Ibu tidak pernah malu mengenakan gaun yang sama lebih dari sekali dan ketika gaya busananya sudah usang, ia akan meminta desainer di kota memermak gaunnya. Tidak ada kain mahal yang terbuang percuma, tidak juga ratusan gaun untuk setahun. Dengan berat hati, saat jam menunjuk pukul delapan malam, Kania meminta pria itu meninggalkan kastil.

Hari selanjutnya, jadwalnya dari makan siang hingga makan malam diisi kelas dansa. Tidak seperti langkah dansa Benua Tengah yang lambat, irama dansa Dyre memiliki tempo lebih cepat. Ia belajar dari dasar, mati-matian hingga menguasai satu lagu yang akan dimainkan di pesta pernikahannya. Namun, setidaknya, dibandingkan meladeni Lovett, Kania jauh lebih menyukai berdansa, sehingga hari itu, kendati tumit dan jari kakinya sakit, ia bisa tertidur pulas tanpa bersungut-sungut. Malam itu, ia tidak ubahnya bocah kecil yang tertidur lelah karena berlarian.

Keesokannya, Tonya menyibak buka tirai jendela kamarnya dan Kania segera bangkit, duduk bersandar pada ranjang kebesarannya. Ia mengamati jam dinding di seberang ruangan, memusatkan fokus pandangnya pada gerak detak jam sementara Tonya sibuk mengarahkan dua pelayan mengisi bak mandinya dengan air mawar. Tonya melontarkan berbagai pertanyaan seperti pagi-pagi sebelumnya: apakah Anda tidur nyenyak? Apakah udara semalam terlalu lembap? Bagaimana dengan secangkir teh dari Prirac? Kania menjawab seadanya, tetapi apa yang berseliweran di benaknya semenjak dua jam lalu adalah sebuah apabila.

Apabila menemukan sang Kaisar bagai berjalan di kegelapan mencari bayangannya sendiri, maka alternatif lain adalah membawa keluar pria itu dari lubang manapun ia bersembunyi. Menceburkan dirinya sendiri ke dalam bahaya tentu akan menarik perhatiannya, namun langkah yang berbahaya. Kania tidak tahu persis bagaimana keadaan warga Dyre menerima Reagan sebagai kaisar baru mereka, tetapi, ia tidak senekat itu mempertaruhkan nyawanya dengan gegabah. Tetapi, namun, tapi—bagaimana jika ia menyembunyikan dirinya sendiri sebagaimana Reagan bersembunyi?

Ia mengingat hampir seluruh denah ruang bawah tanah kastil. Ia juga mengingat pintu rahasia mana yang telah lama dilupakan orang-orang. Dengan segala pengetahuan itu, Kania tidak perlu membahayakan dirinya sendiri. Ia hanya perlu berpura-pura dalam bahaya. Menghilang, bersembunyi, hingga sang Kaisar menunjukkan kehadirannya.

Kania jadi bertanya-tanya mengapa menemukan sang Kaisar begitu penting baginya. Mungkin, seperti saudaranya yang lain, ia menyukai kemenangan-kemenangan kecil. Ia benci merasa dibatasi dan dihalangi. Mungkin, untuk membuktikan bahwa Kania benar—sang Kaisar, sekejam apapun ia—adalah pria yang sama dari dua tahun lalu. Sebab, dibandingkan merasa kalah, ia lebih resah merasa salah.

KANIAWhere stories live. Discover now