55 - Reagan

572 141 45
                                    

55

 "Halo, Dik."

Halo? Setelah semua ini—empat belas tahun mengusahakan hidup seorang diri, merasa dikhianati tidak hanya sekali, tetapi dua kali oleh satu-satunya darah dan dagingnya—Ragnar datang, berdiri di sana dan mengucap halo? Reagan membeku mendengarnya kendati sekujur darah di pembuluhnya meletup memandangi wajah Ragnar. Begitu persis seperti di ingatannya. Wajah yang Reagan lihat pada pantulan dirinya sendiri di cermin. Seberapa keras pun Reagan berusaha, ia tidak mampu mengelak bahwa sebagian kecil dirinya merindukan kebersamaan mereka. Namun, Ragnar seakan meludahi kepercayaannya. Janji masa kecil mereka.

Dua tahun lalu, seharusnya, Reagan membunuhnya kala Ragnar datang kepadanya. Ia telah lama memercayai kakaknya telah tiada dan itu adalah keputusan terbaik. Dengan begitu, lima prajuritnya tidak akan mati di tangan Ragnar. Bukan tumpahan darah yang memercik bara api di dalam diri Reagan. Melainkan mengetahui betapa mudah Ragnar mengkhianati dirinya—Reagan tidak dapat memaafkan kakaknya untuk yang satu itu. Pria itu akan meninggalkannya, lagi dan lagi, berulang kali.

Reagan melesat maju, tidak pernah mengampuni satu detik terbuang percuma. Pedang Reagan mengayun ke kanan Ragnar, tetapi kakaknya itu dengan mudah mengelak, memiringkan tubuhnya. Tepat ke arah di mana Reagan harapkan. Namun, sebelum Reagan mampu memberikan tikaman pada tubuh Ragnar, ia menangkis serangan dengan bilah pedangnya. Denting pedang itu bertemu sepersekian detik di tentang antara mereka.

Manik hitam Ragnar tidak tergerak. Seperti karang palung lautan terdalam. "Kau harus mendengarkan aku terlebih dahulu."

"Pergi," Reagan mematahkan pertemuan singkat pedang mereka, kembali menyasar titik buta Ragnar, "ke neraka."

Refleks cepat Ragnar menangkap aliran serangan Reagan. Ia melompat mundur, memberikan jarak aman. "Aku bukan lawanmu."

Tawa pahit menguasai tenggorokan Reagan. "Jika kau pikir membunuh William dapat memperoleh maaf dariku—kau salah besar, Ragnar."

Mempersempit tentang, bilah tajam Reagan gesit mengincar leher Ragnar. Kakaknya itu merunduk, hanya untuk disambut tendangan lutut Reagan ke perutnya. Dan dalam momentum singkat itu, Reagan mengayunkan tinju ke rahangnya. Ragnar terjengkang, terduduk di atas tanah, mengusap darah yang menetes dari bibirnya. Alisnya curam, mengindikasikan kesabaran yang memudar dari diri kakaknya. Betul. Reagan membutuhkan kemarahan kakaknya. Hal tersebut akan menjadi landasan yang merasionalkan serangan-serangannya.

"Berdiri." Ia mengacungkan pedang. "Lawan aku."

Ragnar meluruskan tungkainya sebelum merangsek ke arahnya. Reagan menangkis ayunan demi ayunan pedangnya. Memberikan balasan yang serupa, namun entah bagaimana, sekalipun telah berpisah lama, mereka mengenal satu sama lainnya terlampau akrab. Tiada yang mampu mengantisipasi serangan-serangan Reagan seperti Ragnar. Dan tidak ada yang kuasa menandingi kakaknya itu selain dirinya. Tetapi, apabila ada satu hal yang Reagan pelajari selama bertahan hidup di koloseum adalah—bermain kotor.

Reagan mulai memutar badan tepat kala Ragnar membelah udara di kanannya. Manuver cepat yang memberikan kesempatan bagi Ragnar mengincar punggungnya. Pengalihan perhatian terbaik. Sebelum kakaknya itu mampu menginisiasi serangan lainnya, Reagan membatalkan putarannya, memberikan pukulan atas gesit dari bawah dagu Ragnar. Disorientasi mengacaukan kuda-kudanya dan, dalam celah itu, Reagan mengait pergelangan kaki Ragnar, membawa kakaknya jatuh ambruk di tanah. Lalu, Reagan mulai melayangkan tinjunya ke pipi Ragnar.

Satu. Dua. Tiga—

"Reagan!" seru Kania. Suara wanita itu nyaris berhasil membasuh dingin api amarahnya. Nyaris. Reagan menahan tinjunya di udara, menoleh ke wajah tidak percaya Kania. "Hentikan," pinta Kania.

KANIAWhere stories live. Discover now